Sabtu, 31 Mei 2014

Perjalanan Penyebaran Surat Training Da’i

- 0 komentar

        Dari berbagai opsi yang ada (daerah-daerah penyebaran surat), saya memilih daerah Banjarnegara. Awalnya saya memilih Kebumen, namun sayangnya kami (saya dan Sarip) keduanya saling mempunyai kendaraan bermotor. Akhirnya saya memutuskan untuk mengganti opsi menuju Banjarnegara, selain tempatnya yang jauh dan asing, juga sebagai pelatihan seberapa mandirinya saya menuju tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Kali ini saya tidak sendirian, Ulil teman yang akan menemani saya dalam perjalanan ini. Dia temen satu angkatan Pesma Mafaza.
Ulil Fiqi
Diawali sholat Ashar, kemudian jam 16.00 kami berangkat. Hanya bermodal tekad dan keberanian saja yang menuntun kami menuju Banjarnegara. *Bismillahirrohmannirrohim, ngeng…. (suara motor mulai berjalan). Menuju Banjarnegara kami melewati Purbalingga terlebih dahulu, setiap ada petunjuk jalan atau arah, kalo dicontohkan seperti “Jika ke kanan Yogyakarta, ke kiri Banjarnegara” itu benar-benar kami cermati dengan baik *takutnya nyasar. Padahal petunjuk jalan ini adalah satu-satunya pengarah kami menuju Banjar, namun hanya ada kurang lebih tiga saja petunjuk jalan selama kami kesana. Setelah kami cari tahu, Banjar itu akan dilewati saat pergi ke Wonosobo dan Semarang, jadi kesimpulannya saat ke Wonosobo atau ke Semarang pasti melalui Banjarnegara terlebih dahulu. Inilah salah satu yang mempersulit perjalanan kami. Untungnya masih ada mulut yang bisa mengeluarkan suara, setelah kebingungan mau kemana lagi yang akan dijejaki, kami memutuskan untuk bertanya pada seorang bapak becak dan bapak supir truk. “Ini kesini mas, nanti kesini, terus bla bla bla…” “Terima kasih, pak”, perjalanan dilanjutkan.

Selamat Datang di Banjarnegara, wah senangnya… hati kami kegirangan melihat joglo bertuliskan seperti itu. Ternyata Banjarnegara tidak sejauh yang kami pikirkan. Pukul lima tepatnya kami sampai di perbatasan Banjar dan Purbalingga, masjid yang kami temui pertama di sebelah kiri jalan dengan tiada bertakmir saat kami berkunjung. Kami pun melanjutkan kembali perjalanan, karena surat harus tersampaikan pada takmir atau pengurus masjid, guna mengetahui kedatangan surat, dan kebenaran surat. *takutnya penipuan gitu.

      Tiba disore hari, membuat kami hanya menemukan beberapa masjid saja, kami singgah di masjid Darul Falah Mandiraja Kulon untuk menunaikan sholat Magrib beserta melepas kepenatan perjalanan. Saya menyarankan Ulil untuk adzan, saat dia adzan, suaranya menjadi perhatian sendiri bagi jamaah masjid, mereka terheran-heran mendengarkannya *Ulil memang bagus si kalo adzan. Alhamdulillah, masjid ini tahun lalu mengikuti Training Da’I, jadi lebih memudahkan kami untuk memastikan takmir masjid untuk mengikuti kembali. Dalam perjalanan selanjutnya kami juga berusaha memastikan agar pengurus-pengurus masjid yang lain mengikuti kegiatan Training Da’i.

          Hari makin gelap, kami hanya mengikuti hamparan panjangnya jalan dihadapan kami, berharap menemukan masjid yang bisa disinggahi. Kami belum sholat Isya, belum makan, belum mandi, ehh di desa Bawang mendadak motor saya bocor *mungkin dia lelah. Mau tidak mau kami harus minggir dan menambalnya. Alhamdulillahnya tukang tambal ban persis di samping kanan jalan kami *jangan-jangan, ahh sudahlah. Lima belas menit menunggu kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Tidak tau kami mau menginap di masjid mana, Ulil menyarankan, “Masjid Alun-alun saja Jo”, “Baiklah, kalo begitu”. Lagi-lagi kami hanya menyusuri jalan yang membentang panjang ini.

          Titik terang alun-alun kota semakin dekat, dalam hitungan 10 jari kami telah tiba *ajaib. Sedikit mengitari lapangan atau taman  kemudian kami menemukan masjid, hal pertama yang saya lakukan adalah Buang Air Besar *hee, maaf sudah ditunggu toiletnya sii. Lanjut kecerita, lalu Sholat Isya berjamaah dengan Ulil, kebetulan bapak penjaga masjid belum pulang, kami meminta izin untuk menginap disini sekaligus menitipkan surat Training Da’i. Melihat masjid yang lumayan besar, tidak lupa untuk mengabadikan diri sebentar. *cekrek-cekrek, dengan gaya khas kami masing-masing. Terasa semakin dingin, apalagi ruang masjid yang ada karpetnya telah di kunci. “Wah, gimana ni Lil? Dingin kalo gini mah, kayaknya banyak nyamuk juga nihh” suaraku padanya, “Betul juga Jo”. Kami baru sadar kalo kami punya temen di Banjar. Nanda, yah Nanda. Dia ini temen yang baik, baru saja di SMS, langsung menanyakan posisi kami dimana? *dimana, dimana, dimana (Ayu Ting ting) helleh. Dalam beberapa menit dia sampai, dibawalah kami ke rumahnya. Kami disambut dengan baik oleh keluarganya. Teh, sneck, makan malam dibuatkan untuk kami. Perjalanan yang panjang membuat kami kelelahan, Nanda mengetahui tanda-tanda itu, dia menyiapkan kamar untuk kami tidur. Status saya dalam BBM, “Alhamdulillah, tidak jadi kedinginan tidur di masjid Alun-alun Banjar”. Kami dibekali selimut, untuk persiapan nanti malam suhu akan turun derastis. Ternyata memang benar, kejadian ini apa yang pernah saya rasakan di Bandung. *wuhh dinginnya.

Di masjid Alun-alun Banjar
Di masjid Alun-alun Banjar
               *Allah hu akbar, Allah hu akbar. Adzan Subuh berkumandang, “Lil, Lil adzan, hayuh sholat”. Ulil menunjukan ekspresi  malas untuk bangun sholat, tidak menunjukan tanda-tanda Ulil mau bangun, saya pun ikutan tidur lagi. *jangan ditiru. Selang beberapa detik kemudian ulil memanggil saya, “Jo, hayu sholat”, akhirnya bangun juga. Disamping persis rumah Nanda ada masjid, kami sholat disitu. *wuuu airnya masih dingin. Miris sekali hampir jamaah masjid terdiri dari bapak-bapak lanjut usia, kemana ini pemudanya? *mungkin mereka tidur. Barat pun hampir sepenuhnya memenangkan pertempuran ini, mereka sengaja menjauhkan pemuda muslim dari tuhannya, *naudzubillah. Setelah usai sholat, kami melanjutkan obrolan-obrolan kecil tapi menarik, mengenai nikah. *kebetulan saya lagi naksir dengan dosen Repro. Ya sudah kami terhanyut dalam obrolan ini. Keluarga Nanda memang terlalu baik, kami diundang lagi untuk sarapan. Sederhana, tapi nikmat, dengan suasana yang sejuk dan asri. Setelah sarapan, kami akan melanjutkan kembali perjalanan pencarian masjid-majid di Banjarnegara. Kami berpamitan pada keluarga Nanda, selagi menyiapkan motor, terlihat burung di pohon pete milik Nanda yang tepat berada di depan rumahnya, Nanda masuk ke dalam dan tiba-tiba senjata ada digenggamannya (bedil burung). *wah ada ide untuk foto. Setelah menembak dan meleset, kami berkesempatan berfoto dengan senjatanya ini. *kaya Tentara nggak nihh.

Ulil dengan gayanya.
Keren bukan?
           “Assalammu’alaikum Nanda”, kami melanjutkan perjalanan kembali, kalo dipikir-pikir, sepertinya kami mirip “Dimas dan Raka”, tau kan? Itu lho film yang diperankan Raffi Ahmad dan *satunya saya lupa, yang mengalami perjalanan ke Jogjakarta menggunakan motor. Tapi bedanya kami mencari masjid-masjid, hee. Dari jam delapan muter-muter lagi mencari masjid-masjid sampai pada akhirnya kami hanya menemukan 21 masjid saja, itu pun tidak semua kami berikan suratnya kepada takmir masjidnya, kami terlalu kelelahan jika menemui langsung takmirnya sedangkan jatah surat yang diberikan kepada kami tiga puluh surat. Dengan terpaksa, ada yang kami titipkan pada tetangga takmir, dan alternative terakhir kami letakan di sajadah imam atau di mimbar, hee.

Semoga Dibaca
Telah didoakan Ulil
          Adapun kejadian yang mungkin masih teringat, waktu mengunjungi masjid Ar Rohmah, jadi di masjid ini berpagar atau berpintu besi, saya tidak tahu kalo semisal membukanya itu digeser ke samping, saya malah mendorong-dorongnya kedalam, saya kira pintunya dikunci, saya mencoba buka kuncinya, saya dorong lagi, tetap saja tidak bisa. Ulil melihat saya yang begitu kerasnya mencoba membukanya dengan keringat yang bercucuran, akhirnya dia membantu saya, dia Cuma menggesernya saja, pintu terbuka. *ciaa ngerjain nich pintu. 

Di depan masjid Ar Rohmah
       Kemudian kejadian yang kedua, saat perjalanan pulang ke Purwokerto. Mula-mulanya lampu merah, karena biasanya ke kiri itu jalan terus, saya mencoba jalan dan waktu itu saya juga terlalu letih, ehh disamping ternyata pos polisi. Langsung saja pedal rem saya injak sekeras-kerasnya, *ciiitttt, bunyi ban, berlebihan. Berharap bapak polisi tidak melihat, kami segera memundurkan motor kebelakang. Namun gerak-gerik kami telah diketahui sebelumnya, dipanggilah kami ke pos. Inilah yang membuat citra polisi semakin buruk dimata masyarakat, bukan mencontohkan yang baik, mengingat saya mempunyai surat-surat motor lengkap mereka malah memeras kami untuk dibelikan rokok. Kalo semisal ada peraturan memukul oknum polisi yang melakukan perbuatan seperti itu, saya pukul beneran. *sudahlah, Istighfar saja. Saya pun membeli dua bungkus rokok yang diminta mereka *semoga saya diampuni. Seharusnya jika polisi yang baik, “Dari mana mas? Tadi melanggar ya, ya sudah lain kali jangan melanggar ya”, begitu seharusnya. Saya pergi dengan rasa kesal dan emosi, takutnya ada kejadian yang tidak diinginkan saat perjalanan, saya mencoba memaafkannya dan meredakan emosi saya.

          Perjalanan kami ditutup sholat Dzuhur di masjid Alun-alun Purbalingga atas keinginan Ulil, dari perjalan ditilang polisi dia menyarankan untuk mampir di masjid tersebut. Kami diuji lagi oleh Allah, ban belakang bocor lagi,. *cia, tambal lagi. 
Di tempat wudhunya
Masjid Alun-alun Purbalingga
Masjid Alun-alun Purbalingga
Sekian.

Kenang-kenangan





             
[Continue reading...]

Kamis, 29 Mei 2014

Penulis Part 1

- 0 komentar
ABOUT ME
Jovi Ardan
Dari orang tua yang sederhana, terlahirlah saya yang berkepribadian sederhana pula. Saat saya dilahirkan kala itu saya belum mempunyai seorang adikpun, tidak tau kenapa mungkin karena saya anak pertama kali. Si Jovi kecil yang pendiam, pemalu dan cengeng menghiasi kehidupan saya waktu itu dan memberikan banyak warna tersendiri. Dari sekian banyak hal yang telah dilalui, yang paling teringat adalah ketika Om (paman) saya bernama Chaerudin (sebut saja Om Udin) adalah om terjahat yang saya kenal saat itu, dengan muka yang garang, suaranya yang tegas dan galak sering membuat saya takut ketika menyuruh saya untuk tidur siang. Setiap kali main kerumah dia selalu menyuruh untuk tidur siang, padahal saya sedang tidak ingin tidur siang. Karena saya menolak akhirnya saya pun dibentaknya (sebenernya dia itu orangnya baik, cuma dia suka jail kalo deket-deket ibu saya).

Pertama kali menuntut ilmu, saya disekolahkan di Taman Kanak-kanak (TK) Bustanul Atfal, dua tahun menjalani perTK-an diselimuti rasa takut. Saya begitu lemahnya, tanpa ada daya, bertubuh kecil sehingga sering sekali saya ditindas. Pernah dipalakin (dimintain uang), akan tetapi dengan jurus yang saya keluarkan (nangis maksudnya) sehingga uang di dalam saku pun tidak pernah keluar untuk mereka (Alis dan Fahmi). Keduanya adalah preman TK, mereka sedikit lebih besar dari kebanyakan anak seumuran kami. Siapa pun didekat mereka pasti dijahili. Oh iya saya adalah anak dari sekian anak yang paling ngirit dalam menggunakan uang saku, bagimana tidak? Dari lima ratus perak, yang digunakan hanya dua ratus saja, terkadang malah hanya seratus. Kemudian sisanya kemana? Sisanya saya kembalikan lagi pada ibu.

Dua tahun sudah terlewati menuntut ilmu di TK Bustanul Atfal, banyak pelajaran yang berharga, mulai dari diajari bernyanyi, menggambar, sampai pada berbakti pada orang tua. Dua tahun juga, pulang pergi diantar menggunakan becak. Pernah suatu ketika, bapak becak belum datang, padahal waktu kegiatan belajar telah usai, saya bingung, mau nangis malu, mau jalan sendiri takut kesasar, apalagi sedang unyu-unyunya wah nanti kalo diculik bagimana?. Saya  memutuskan untuk jalan. Sampai disitu saya lupa alur ceritanya kemana. Hehehe padahal udah menegangkan banget yah,. Huuuft.


Cerita bersambung… tunggu kelanjutannya!
[Continue reading...]

Ujian Juz 30

- 1 komentar

Melihat mas Amin menghafal Al Qur’an membuat saya heran.  Seharusnya ini adalah sebuah hal yang wajar bahkan harus disyukuri, karena membaca Al Qur’an adalah sesuatu yang wajib, saya malah terheran-heran. Usut punya usut ternyata mas Amin akan menjalani ujian hafalan juz 30 dengan ustadz Rian, dia adalah mahasiswa tingkat empat, ini menandakan tugas-tugas akhirnya harus segera diselesaikan entah yang ada di kampus maupun yang ada di Pesantren Mahasiswa (Pesma) Masjid Fatimatuzzahra. Kurang lebih satu bulan menghafal, akhirnya dia memberanikan diri menjalani ujian. Tanpa rasa takut dia berjalan menuju kamar ustadz Rian. Setelah kurang lebih 45 menit berselang akhirnya dia dinyatakan lulus. *wow keren.

Saya iri padanya, sebelumnya saya tidak mengetahui apakah berita ini benar (waktu itu saya mendapatkan info dari Angga *temen satu kamar). Saya selidiki sendiri dalam sebuah akun jejaring sosialnya, mas Amin dinyatakan lulus. *wah ternyata beneran, hebat nihh mas Amin. Dari situlah menambah semangat saya untuk menghafal kembali, setelah sekian lama hafalan tersebut terabaikan. Butuh waktu dua Minggu untuk memperbaiki hafalan saya. Susah-susah gampang dalam mengingat, berhubung adik-adik angkatan saya mulai menghafal dan bahkan mereka mendahului saya dalam ujian. Hal itu membakar semangat saya dalam menghafal, *gengsi dong, hehee.

Dua Minggu berlalu, dan saya rasa saya sudah terlalu siap. Pesan BBM menunjukan sudah terkirim, kemudian ustadz menjawab, “Ya silahkan saja mas Jovi, saya ada ba’da Dzuhur dan Isya ya”. Setelah membacanya saya tetapkan dihari Senin tanggal 26 Mei 2014 saya akan ujian. Kebetulan Rubi dan Ipin (adik angkatan Pesma 2013) akan menjalani ujian juga dihari yang sama. Setelah sholat  Isya selesai, Rubi mendahului saya ke kamar ustadz, *karena waktu itu saya sedang ada kuliah sampai malam. Ustadz tidak menyanggupi, mungkin karena terlalu banyak kegiatan di SMP Al-Irsyad, sehingga dia bilang, “Afwan saya sedang cape” *kalo saya tidak salah. Ternyata tidak cukup dengan janjian seperti itu saja, harus lengkap tanggal dan jam mainnya. Sembari menunggu waktu ustadz bisa menguji, saya mencoba menghafal kembali.


Tiga hari berlalu, kamudian saya memutuskan untuk membuat janji dengan ustadz, ini mungkin waktu yang tepat bagi saya untuk ujian. Tanggal   29 Mei 2014,  nanti malam saya mau ujian, ustadz pun setuju. Dengan langkah yang begitu PDnya, *sedikit merinding dan dingin pada kaki bagian lutut ke bawah, saya berjalan selangkah demi selangkah menuju kamar ustadz Rian. Terlihat pintu kamarnya terbuka, itu pertanda saya sudah disambut dengan baik. *GR sedikit. “Assalammualaikum”, “Wa’alikum salam” jawab ustadz, “Silahkan masuk” Tuturnya kembali. Sudah berbincang-bincang, kemudian ustadz mempersilahkan saya untuk memulai dari surah An-Naba. “Bismillahhirrohmannirrohim….dan seterusnya”. Wah-wah tidak semudah yang dibayangkan, butuh mental yang besar untuk melafalkan apa yang telah dihafal. Banyak ayat yang keliru, tetapi ustadz memancing agar saya ingat kembali. Mungkin karena baru kali ini saya disimak oleh Hafidz Muda sekaligus Imam Masjid Fatimatuzzahra (Mafaza).

Alhamdulillah saya menyelesaikan Juz 30, walau sedikit keliru dibeberapa ayat. “Barakallah, lanjutkan juz 29 ya!” ucapan selamat dari ustadz, “Insya Allah ustadz” jawab saya. Dalam hati berucap, “Ustadz jangan lama-lama sertifikatnya yah, heehae”.

Mudah-mudahan ini bisa menjadi kenang-kenangan saya dimasa tua dan menjadi motivasi bagi anak cucu saya kelak. Amin. 
[Continue reading...]
 
Copyright © . JOVI ARDAN BLOG - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger