By Jovi Ardan
Mimpi,
setiap orang pasti mempunyainya. Mimpi, menjadikan seseorang memiliki semangat dalam
menjalani hidupnya. Mimpi, dapat mengubah keadaan seseorang, baik pada segi psikologi,
pola pikir, maupun perilakunya. Karena mimpi, hidup menjadi lebih berarti.
Hidup akan penuh warna, seiring dengan usaha untuk menggapai mimpi.
Aku
adalah manusia biasa pada umumnya, tidak ada bedanya sama sekali. Hanya taqwalah
yang Allah jadikan sebagai pembeda derajat antara manusia satu dengan manusia lainnya.
Aku juga mempunyai mimpi. Mimpi yang dimiliki setiap orang tua. Ya, betul. Aku ingin
menjadi seorang hafidz Qur’an. Menjaga bacaan Al Qur’an dalam diri, hati, dan pikiran.
Ketika
keinginanku (mimpi) ini kusampaikan pada kedua orang tua. Sungguh aku tidak tahu
bagaimana cara menggambarkan ekspresi wajah mereka. Gembira dan haru yang
kulihat dari raut keduanya. Aku yakin, rasa itu bercampur menjadi satu memenuhi
relung hati mereka. Senyum keduanya merekah bagai bunga-bunga yang bermekaran.
Apalagi
ibu, beliau menangis terharu saat mendengar ucapanku. Beliau sentak saja memelukku
dan berjanji akan selalu mendoakanku disetiap akhir shalatnya. Dalam batinku berucap
“MasyaAllah, ibu sebegitu bahagianya,
sebegitu perhatiannya padaku. Aku harus sungguh-sungguh dalam menjalani proses
menghafal.”
Bapak.
Walaupun bapak adalah orang yang kelihatannya selalu tidak peduli. Tapi dari raut
wajahnya, aku yakin bahwa dalam hati yang terdalam, beliau mengatakan “Bapak bangga padamu, Nak. Lanjutkan perjuanganmu.
Gapai mimpimu. Bapak akan selalu mendoakanmu.” Bapak adalah orang yang
peduli dalam diamnya. Semasa SD hingga SMA, keberadaanku selalu ditanyakannya.
Hanya saja, bapak tidak pernah menanyaiku secara langsung. Bapak hanya berani bertanya
pada ibu dan kedua adikku. Mungkin bapak terlalu malu dengan putra pertamanya ini.
Putra yang memikul amanah, harus menjadi teladan bagi adik-adiknya. Putra yang
akan menjadi harapan keluarga kelak. “InsyaAllah,
Pak. Aku mengerti tentang yang Bapak maksud. Aku akan ingat perjuanganmu membesarkanku
dengan jerih payahmu.”Gumamku dalam hati.
Sore
itu aku di ruang sound Masjid Fatimah, tempat dimana biasanya aku menghafal kalam-kalamNya.
Setelah shalat Ashar, telah terhafal surat Al Ma’arij *Alhamdulillah*. Butuh waktu
seminggu untuk menghafalnya. Surat Al Ma’arij tidak terlalu susah bagiku,
karena sebelumnya aku sangat menyukai surat ini. Ketika ustadz Rian atau ustadz
Sofwan membacanya dalam shalat berjamaah, aku betul-betul terkesima dan menghayatinya
satu demi satu ayat yang dilafalkan. Terasa sejuk didengar. *Subhanallah*
Setelah
surat Al Ma’arij terhafal. Kini surat Al Haqqah yang aku prioritaskan selanjutnya,
mengingat ayat-ayat dalam surat Al Jin sangat panjang dibanding surat Al Haqqah.
Jika dua surat ini telah terhafal, maka juz dua puluh sembilanaku telah menyelesaikannya.
*Insya Allah*
Sudah
hampir seminggu kulalui. Sepuluh ayat yang baru kuhafal, dari lima puluh dua ayat
surat Al Haqqah. Bahkan, jika aku tidak melihat mushaf Qur’an, bacaanku tak benar-benar
lancar. Ada apa denganku ini? Tidak biasanya seperti ini. Dengan berbagai upaya
aku kembali menghafalnya, tapi tetap tidak ada perubahan. Tetapsaja, aku kesulitan
menghafal.
Ayat
demi ayatnya serasa begitu asing, begitu sulit untuk dilafalkan. Lidahku kelu untuk
melafalkannya kembali. Aku kelelahan mengulang-ulang ayatnya. Sering kali aku ingin
menangis. Aku jengkel pada surat ini, dan pernah menyatakan ingin berhenti dari
perjuangan ini. Berhenti sampai disini.
“Biarlah cukup sampai disini, sudah banyak surat yang aku hafal.”
Nampaknya,
Allah tidak setuju dengan keputusanku. Allah mengingatkanku pada dua ayat dalam
surat Al Insyirah yang berbunyi“Maka sesungguhnya
bersama kesulitan itu ada kemudahan (4). Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan
(5)” Allah memberiku kalimat semangatnya, bahwa setelah adanya kesulitan pasti
ada kemudahan.
Ternyata
memang benar. Lalu Allah datangkan teman-temanku sebagai pelipur lara. UlilFiqi
yang mendengaraku akan berhenti menghafal, dia menasehatiku. “Istighfar, Jov. Istiqamah, tetap semangat” tegur
Ulil. *Astaghfirullahaladzim* Apa yang aku lakukan. Aku telah berikrar akan menjadi
seorang hafidz, mengapa aku harus berhenti karena cobaan yang sekecil itu. Ulil
saja hampir menyelesaikan surat Al Baqarah, masa aku harus berhenti di surat Al
Ma’arij.
Kemudian
Allah pun menghadirkan Mas Udin menemani dan membimbingku dalam menghafal surat
Al Haqqah. Kami sering murojaah bersama, saling membenarkan jika ada yang salah
satu sama lain. Dan selang beberapa hari kemudian, akhirnya surat Al Haqqah terhafal
juga. Aku ingin menangis tapi sulit sekali meneteskan air mata. Ucapan syukur
Alhamdulillah terucap keluar dari mulutku. Bahagiaku membuncah, memenuhi ruang dalam
hati.
Tidak
hanya itu saja yang mengingatkanku untuk
kembali bersemangat dalam menghafal. Aku teringat wajah kedua orang tuaku yang
begitu bahagianya mendengaraku ingin menjadi seorang hafidz. Aku tidak ingin mengecewakan
keduanya karena keputusasaanku. Aku yakin, berkat doa kedua orang tuaku juga,
sehingga aku merampungkan juz dua puluh sembilan. Alhamdulillah, kini aku akan melanjutkan
menghafal di juz dua puluh delapan.
Akan
kuingat selalu ayat ini“Maka sesungguhnya
bersama kesulitan itu ada kemudahan (4). Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan
(5)”. Tidak hanya dalam masalah yang hadir dalam menghafal, melainkan untuk
semua masalah, dan kesulitan yang menimpaku dalam kehidupan sehari-hari.
Keep
Spirit J
Tentang Penulis
Jovi
Ardan yang dilahirkan 20 tahun silam mempunyai impian menjadi hafidz Qur’an.
Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan di STIKes Harapan Bangsa Purwokerto.
Menjad isantri di Pesantren Mahasiswa Masjid Fatimatuzzahra. Jika ingin tahu lebih
lanjut mengenai penulis silahkan Hub. Whatsapp
081903156990, Facebook Jovi Ardan, e-mail joviardan@gmail.com.
0 komentar:
Posting Komentar