Senja
menjelang. Badanku masih penuh dengan peluh. Baru saja kami menyelesaikan sepak
bola di halaman masjid. Lelah sepulang kuliah tidak menjadi halangan untuk
tetap bermain. Canda tawa, kami lalui bersama. Kebersamaan ini menjadi
penghibur ketika tugas kuliah menumpuk begitu tinggi.
Sebenarnya
jika dibandingkan dengan teman-teman sesama santri, mungkin aku termasuk santri
yang bisa dibilang berkecukupan dalam segi finansial. Bukan! Bukan karena aku
sudah bekerja atau punya usaha. Tapi itu semua dari bapak. Aku belum bisa
menghasilkan uang. Aku belum sepenuhnya mandiri. Jika uang dalam dompetku habis,
aku hanya bisa merengek meminta pada orang tua. Bapakku adalah seorang PNS, guru
di salah satu SD di kampungku. Sedangkan ibuku hanyalah ibu rumah tangga yang
kadang membantu bapak mencari rejeki. Aku punya dua orang adik. Yang pertama di
bangku kuliah, yang kedua masuk tahun pertama di bangku SMP.
Aku
mahasiswa semester empat Kesehatan di Perguruan Tinggi Swasta Purwokerto. Banyak
hal yang masih belum kumengerti. Apalagi kuliah, aku sering lalai dan
menyepelekan tugas yang diberikan dosen. Sifatku yang kekanak-kanakan ketika
SMA masih terbawa hingga saat ini.
Selama
satu setengah tahun terakhir, sifat kekanak-kanakan itu menjadi ciri khasku
dibanding dengan santri lain. Oh iya, perkenalkan aku juga seorang santri di
salah satu pesantren khusus untuk di tinggali mahasiswa. Predikatku sebagai
santri tidak mencegahku dari dunia musik. Aku masih sering mendengarkan musik sebelum
tidur. Aku masih gemar menonton film.
Bermain game pun menjadi bagian dari aktivitasku
saat itu. Semuanya mempengaruhi prestasi kuliah yang semakin menurun. Akibatnya,
tugas-tugas kuliah terabaikan. Bahkan aku pernah sampai dihukum dosen gara-gara
lupa tidak mengumpulkan tugas. Memang, walau sifatku yang seperti itu, tapi aku
tetap saja mempunyai rasa malu. Masa,
santri sampai lupa tidak mengerjakan tugas. Padahal seharusnya, mahasiswa yang nyantri harus menjadi teladan bagi yang tidak
nyantri.
Yah.
Itu satu setengah tahun terakhir yang aku lewati. Bagaimanapun, pesantrenku semakin
hari semakin sering menyelenggarakan kajian. Kajian-kajian itu semakin hari
semakin membuatku termotivasi. Bagaimana cara meraih mimpi dan cita-cita. Kini,
sedikitnya ada perubahan yang aku rasakan. Sifat kekanak-kanakan itu mulai
terkikis seiring berjalannya waktu. Apalagi, banyak teman santri satu angkatan
yang sering menceritakan prestasi-prestasi yang mereka raih. Mulai dari prestasi
akademik hingga non akademik.
Mendengar
mereka bercerita dengan rasa bangga, ada semacam beban yang pelan-pelan terasa.
Aku merasakan kesedihan, bahkan hendak menangis. Aku ingin berteriak, “Haahh, Apa yang aku lakukan selama ini?
Aku hanya menyia-nyiakan waktu yang diberikan Allah. Aku terlalu banyak
melakukan hal bodoh. Bagaimana nanti jika kedua orang tua menanyai kuliahku?
Bagaimana nanti jika pihak pesantren pun menanyai hal yang sama? Akan kujawab
apa pertanyaan itu?
Aku
sedih. Aku teringat bapak dengan kerja kerasnya mencari nafkah untuk menghidupi
istri dan anaknya. Aku ingat bagaimana bapak harus bekerja siang malam untuk
membiayaiku, sebelum beliau diangkat menjadi pegaawai lima tahun lalu. Dengan
gaji pokok sebagai guru yang tidak seberapa, bapak harus bekerja serabutan
untuk memenuhi kebutuhan. Beliau menjadi sopir angkudes ketika orang lain
beristirahat, setelah Asar. Berangkat Asar, pulang jam delapan malam. Jarang
sekali bapak istirahat, sehingga shalat Subuh kadang kebablasan.
Tidak
jarang, Bapak jatuh sakit karena pulang basah kuyup ketika musim hujan.
Pekerjaan serabutan dilakoni bapak selama sembilan tahun terakhir. Bapak tidak
mengeluh, beliau tetap semangat demi memenuhi kebutuhan kehidupan, demi kelancaran
pendidikan anak-anaknya.
Kemudian
ibu. Untuk memenuhi kebutuhanku di tempat rantau, ibu berdagang kecil-kecilan
di SD yang bapak tempati. Berjualan jajanan ringan, lontong untuk sarapan dan
sejenisnya. Keuntungannya memang kecil, tapi setelah dikumpulkan dalam satu
bulan, Alhamdulillah uang itu bisa mencukupi kebutuhanku satu bulan ke
depan.
Subhanallah.
Mereka semua berjuang demi kelancaranku meraih cita-cita. Sementara aku hanya bermain-main
saja. Ini adalah balas budi yang tidak baik. Bukan begini harapan orang tua. Hah, kenapa aku begini? Aku ini anak
pertama, seharusnya menjadi contoh bagi adik-adikku. Memberikan panutan yang
patut untuk ditiru. Dan kelak akan menjadi harapan keluarga.
Mulai
hari itu, sepulang kajian dengan bahasan Bagaimana
Jerih Payah Orang Tua Membesarkan Anaknya. Aku segera membenah diri. Aku
tidak ingin hidup hanya seperti ini, dipenuhi bermain tanpa memikirkan masa
depan. Aku ingin menjadi kebanggaan orang tua. Aku tidak ingin bergantung terus
pada keduanya.
Kini,
sudah banyak kerutan di wajah mereka. Sudah banyak rambut yang beruban pula.
Tenaganya sudah tidak sekuat dulu lagi saat masih muda. Aku harus bisa mandiri
menghidupi diri sendiri. Alhamdulillah waktu itu ada yang menawariku pekerjaan.
Tanpa pikir panjang aku terima, karena memang pekerjaan itu halal. Yah,
walaupun penghasilannya tidak bisa membayar dan mencukupi keperluan kuliahku,
tapi setidaknya dapat meringankan beban orang tua. Aku makan dari uang jerih
payahku sendiri. Masya Allah, begitu senangnya ternyata.
Lagi-lagi
teman-temanku menceritakan prestasi yang mereka raih. Membuat aku semakin iri,
dan terpacu ingin bersaing dengan mereka. Aku tidak hanya ingin menjadi
pendengar mereka. Aku pun ingin dan akan meraih apa yang mereka bisa raih. Aku
juga ingin mengalami apa yang mereka alami. Mulai saat itu aku berubah 180
derajat. Semua hal yang sia-sia, aku tinggalkan. Mendengarkan musik, menonton
film, tidur-tiduran aku jauhi. Biasanya aku tidur lebih dari delapan jam
sehari. Itu dihitung sudah dengan tidur siang. Saat ini tidur pun aku kurangi.
Uang jatah makanku aku sisihkan untuk kubelanjakan membeli buku. Agar wawasanku
luas dan bertambah.
Aku
mulai merajut mimpi-mimpiku. Aku tuliskan satu demi satu mimpiku pada dua
lembar kertas. Aku tulis semua hal yang aku inginkan. Aku terinspirasi mereka.
Aku ingin menjadi penulis yang di setiap kalimatnya terkandung nasihat yang
bermanfaat bagi para pembacanya, sehingga para pembaca dapat terinspirasi dan
melakukan kebajikan itu. Hal tersebut dapat mengalirkan pahala padaku.
Seperti
yang telah dijelaskan dalam sebuah hadis “Barang
siapa yang memberikan contoh melakukan kebaikan, kemudian perbuatannya diikuti
orang. Maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi pahala orang tersebut.”
Untuk
hal tulis menulis aku selalu terinspirasi oleh Ustadz Arian Sahidi, Mas Yogi
Baskara, Arifin Budi, Sarip Subandi, Mas Udin, dan masih banyak lagi
penulis-penulis lainnya.
Menghafal
Qur’an adalah mimpiku selanjutnya. Aku terdorong dan terinspirasi anak-anak kecil
yang sudah bisa menghafal Al Qur’an. Aku sering menangis melihat mereka begitu
lancarnya melafalkan kalam-kalamNya yang begitu indah. Ustadz Sofwan Al Hafidz
dan Ustadz Rian Al Hafidz pun berhasil membuatku semakin bertambah iri.
Keduanya mempunyai suara yang begitu merdu dan sulit untuk ditiru. Dari
rangsangan-rangsangan tersebut aku ingin menjadi hafidz Qur’an seperti mereka,
pasti kedua orang tua pun akan bangga. Dan bukankah penghafal Al Qur’an akan
dimuliakan oleh Allah sebagaimana sabda Rasulullah saw “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Al-Qur’an dan
merendahkan kaum yang lain” (HR. Muslim).
Ulil
Fiqi telah memulai dan mendahuluiku. Dia telah genap menghafal juz tiga puluh, juz
satu dan dua. Masya Allah, hebatnya. Mas Udin ternyata juga sama, namun beda
juz yang dihafal, yakni juz tiga puluh, dua sembilan dan hampir menyelesaikan
juz dua delapan. Mereka berdua menjadi teman saat aku mengalami kesusahan
menghafal. Saling memberikan arahan dan nasihat saat kemalasan datang. Memang
benar apa yang pernah disabdakan suritauladan kita, Rasulullah saw. Bahwa Beliau
bersabda
“Permisalan teman duduk yang baik dan
teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Bergaul
dengan penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa
jadi engkau membeli darinya dan bisa jadi engkau
akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara bergaul dengan pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara bergaul dengan pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Betapa
beruntungnya aku bisa ditemukan dengan mereka semua menjadi satu keluarga. Saling
berwasiat dalam kebajikan, berbagi manfaat, dan saling memberi kalimat
semangat.
Alhamdulillah.
Saat ini dua juz sudah terhafal. Ketika aku kabarkan pada orang tua, mereka
begitu senangnya. Apalagi saat aku pulang ke rumah. Bapak selalu menunjukku
untuk memimpin shalat di masjid terdekat.
Aku
akan selalu belajar, beribadah, bekerja, dan berdoa untuk kelancaran masa
depanku. Aku sedang menanti kesuksesan itu. Menjadi manusia yang beruntung
setiap harinya. Mencoba memperbaiki diri di pergantian hari.
“Merugilah manusia, jika hari ini
sama dengan hari kemarinnya. Dan hari selanjutnya sama dengan hari ini.” Kalimat
bijak yang aku pegang untuk selalu mawas diri.
Keep
Spirit J
Tentang Penulis
Jovi
Ardan terlahir sebagai anak pertama dari kedua orang tuanya. Saat ini penulis
sedang menempuh pendidikan di STIKes Harapan Bangsa Purwokerto, sekaligus
menjadi santri di Pesantren Mahasiswa Mafaza. Penulis mencoba menuangkan
pengalaman hidupnya dengan kisah-kisah inspiratif di lembaran-lembaran kertas.
Ingin
lebih tahu mengenai penulis, silahkan hubungi melalui Whatsapp 081903156990, Facebook
Jovi Ardan, email
joviardan@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar