Dari berbagai opsi yang ada
(daerah-daerah penyebaran surat), saya memilih daerah Banjarnegara. Awalnya
saya memilih Kebumen, namun sayangnya kami (saya dan Sarip) keduanya saling
mempunyai kendaraan bermotor. Akhirnya saya memutuskan untuk mengganti opsi
menuju Banjarnegara, selain tempatnya yang jauh dan asing, juga sebagai pelatihan
seberapa mandirinya saya menuju tempat yang belum pernah saya kunjungi
sebelumnya. Kali ini saya tidak sendirian, Ulil teman yang akan menemani saya
dalam perjalanan ini. Dia temen satu angkatan Pesma Mafaza.
Ulil Fiqi |
Diawali
sholat Ashar, kemudian jam 16.00 kami berangkat. Hanya bermodal tekad dan
keberanian saja yang menuntun kami menuju Banjarnegara. *Bismillahirrohmannirrohim, ngeng…. (suara motor mulai berjalan).
Menuju Banjarnegara kami melewati Purbalingga terlebih dahulu, setiap ada
petunjuk jalan atau arah, kalo dicontohkan seperti “Jika ke kanan Yogyakarta, ke kiri Banjarnegara” itu benar-benar
kami cermati dengan baik *takutnya nyasar.
Padahal petunjuk jalan ini adalah satu-satunya pengarah kami menuju Banjar,
namun hanya ada kurang lebih tiga saja petunjuk jalan selama kami kesana.
Setelah kami cari tahu, Banjar itu akan
dilewati saat pergi ke Wonosobo dan Semarang, jadi kesimpulannya saat ke
Wonosobo atau ke Semarang pasti melalui Banjarnegara terlebih dahulu. Inilah
salah satu yang mempersulit perjalanan kami. Untungnya masih ada mulut yang
bisa mengeluarkan suara, setelah kebingungan mau kemana lagi yang akan
dijejaki, kami memutuskan untuk bertanya pada seorang bapak becak dan bapak
supir truk. “Ini kesini mas, nanti
kesini, terus bla bla bla…” “Terima kasih, pak”, perjalanan dilanjutkan.
Selamat Datang di Banjarnegara, wah
senangnya… hati kami kegirangan melihat joglo bertuliskan seperti itu. Ternyata
Banjarnegara tidak sejauh yang kami pikirkan. Pukul lima tepatnya kami sampai
di perbatasan Banjar dan Purbalingga, masjid yang kami temui pertama di sebelah
kiri jalan dengan tiada bertakmir saat kami berkunjung. Kami pun melanjutkan
kembali perjalanan, karena surat harus tersampaikan pada takmir atau pengurus
masjid, guna mengetahui kedatangan surat, dan kebenaran surat. *takutnya penipuan gitu.
Tiba disore hari, membuat kami hanya
menemukan beberapa masjid saja, kami singgah di masjid Darul Falah Mandiraja
Kulon untuk menunaikan sholat Magrib beserta melepas kepenatan perjalanan. Saya
menyarankan Ulil untuk adzan, saat dia adzan, suaranya menjadi perhatian
sendiri bagi jamaah masjid, mereka terheran-heran mendengarkannya *Ulil memang bagus si kalo adzan.
Alhamdulillah, masjid ini tahun lalu mengikuti Training Da’I, jadi lebih
memudahkan kami untuk memastikan takmir masjid untuk mengikuti kembali. Dalam
perjalanan selanjutnya kami juga berusaha memastikan agar pengurus-pengurus masjid
yang lain mengikuti kegiatan Training Da’i.
Hari makin gelap, kami hanya mengikuti
hamparan panjangnya jalan dihadapan kami, berharap menemukan masjid yang bisa
disinggahi. Kami belum sholat Isya, belum makan, belum mandi, ehh di desa
Bawang mendadak motor saya bocor *mungkin
dia lelah. Mau tidak mau kami harus minggir dan menambalnya.
Alhamdulillahnya tukang tambal ban persis di samping kanan jalan kami *jangan-jangan, ahh sudahlah. Lima belas
menit menunggu kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Tidak tau kami mau
menginap di masjid mana, Ulil menyarankan, “Masjid
Alun-alun saja Jo”, “Baiklah, kalo begitu”. Lagi-lagi kami hanya menyusuri
jalan yang membentang panjang ini.
Titik terang alun-alun kota semakin
dekat, dalam hitungan 10 jari kami telah tiba *ajaib. Sedikit mengitari lapangan atau taman kemudian kami menemukan masjid, hal pertama
yang saya lakukan adalah Buang Air Besar *hee,
maaf sudah ditunggu toiletnya sii. Lanjut kecerita, lalu Sholat Isya
berjamaah dengan Ulil, kebetulan bapak penjaga masjid belum pulang, kami
meminta izin untuk menginap disini sekaligus menitipkan surat Training Da’i.
Melihat masjid yang lumayan besar, tidak lupa untuk mengabadikan diri sebentar.
*cekrek-cekrek, dengan gaya khas kami
masing-masing. Terasa semakin dingin, apalagi ruang masjid yang ada
karpetnya telah di kunci. “Wah, gimana ni
Lil? Dingin kalo gini mah, kayaknya banyak nyamuk juga nihh” suaraku
padanya, “Betul juga Jo”. Kami baru sadar
kalo kami punya temen di Banjar. Nanda, yah Nanda. Dia ini temen yang baik,
baru saja di SMS, langsung menanyakan posisi kami dimana? *dimana, dimana, dimana (Ayu Ting ting) helleh. Dalam beberapa menit
dia sampai, dibawalah kami ke rumahnya. Kami disambut dengan baik oleh
keluarganya. Teh, sneck, makan malam dibuatkan untuk kami. Perjalanan yang
panjang membuat kami kelelahan, Nanda mengetahui tanda-tanda itu, dia
menyiapkan kamar untuk kami tidur. Status saya dalam BBM, “Alhamdulillah, tidak jadi kedinginan tidur di masjid Alun-alun
Banjar”. Kami dibekali selimut, untuk persiapan nanti malam suhu akan turun
derastis. Ternyata memang benar, kejadian ini apa yang pernah saya rasakan di
Bandung. *wuhh dinginnya.
Di masjid Alun-alun Banjar |
Di masjid Alun-alun Banjar |
*Allah hu akbar, Allah hu akbar. Adzan
Subuh berkumandang, “Lil, Lil adzan,
hayuh sholat”. Ulil menunjukan ekspresi malas untuk bangun sholat, tidak menunjukan
tanda-tanda Ulil mau bangun, saya pun ikutan tidur lagi. *jangan ditiru. Selang beberapa detik kemudian ulil memanggil saya,
“Jo, hayu sholat”, akhirnya bangun
juga. Disamping persis rumah Nanda ada masjid, kami sholat disitu. *wuuu airnya masih dingin. Miris sekali
hampir jamaah masjid terdiri dari bapak-bapak lanjut usia, kemana ini
pemudanya? *mungkin mereka tidur.
Barat pun hampir sepenuhnya memenangkan pertempuran ini, mereka sengaja
menjauhkan pemuda muslim dari tuhannya, *naudzubillah.
Setelah usai sholat, kami melanjutkan obrolan-obrolan kecil tapi menarik,
mengenai nikah. *kebetulan saya lagi
naksir dengan dosen Repro. Ya sudah kami terhanyut dalam obrolan ini. Keluarga
Nanda memang terlalu baik, kami diundang lagi untuk sarapan. Sederhana, tapi
nikmat, dengan suasana yang sejuk dan asri. Setelah sarapan, kami akan
melanjutkan kembali perjalanan pencarian masjid-majid di Banjarnegara. Kami
berpamitan pada keluarga Nanda, selagi menyiapkan motor, terlihat burung di
pohon pete milik Nanda yang tepat berada di depan rumahnya, Nanda masuk ke
dalam dan tiba-tiba senjata ada digenggamannya (bedil burung). *wah ada ide untuk foto. Setelah
menembak dan meleset, kami berkesempatan berfoto dengan senjatanya ini. *kaya Tentara nggak nihh.
Ulil dengan gayanya. |
Keren bukan? |
“Assalammu’alaikum Nanda”, kami
melanjutkan perjalanan kembali, kalo dipikir-pikir, sepertinya kami mirip
“Dimas dan Raka”, tau kan? Itu lho film yang diperankan Raffi Ahmad dan *satunya saya lupa, yang mengalami perjalanan
ke Jogjakarta menggunakan motor. Tapi bedanya kami mencari masjid-masjid, hee.
Dari jam delapan muter-muter lagi mencari masjid-masjid sampai pada akhirnya
kami hanya menemukan 21 masjid saja, itu pun tidak semua kami berikan suratnya
kepada takmir masjidnya, kami terlalu kelelahan jika menemui langsung takmirnya
sedangkan jatah surat yang diberikan kepada kami tiga puluh surat. Dengan
terpaksa, ada yang kami titipkan pada tetangga takmir, dan alternative terakhir
kami letakan di sajadah imam atau di mimbar, hee.
Semoga Dibaca |
Telah didoakan Ulil |
Adapun kejadian yang mungkin masih
teringat, waktu mengunjungi masjid Ar Rohmah, jadi di masjid ini berpagar atau
berpintu besi, saya tidak tahu kalo semisal membukanya itu digeser ke samping,
saya malah mendorong-dorongnya kedalam, saya kira pintunya dikunci, saya
mencoba buka kuncinya, saya dorong lagi, tetap saja tidak bisa. Ulil melihat
saya yang begitu kerasnya mencoba membukanya dengan keringat yang bercucuran,
akhirnya dia membantu saya, dia Cuma menggesernya saja, pintu terbuka. *ciaa ngerjain nich pintu.
Di depan masjid Ar Rohmah |
Kemudian
kejadian yang kedua, saat perjalanan pulang ke Purwokerto. Mula-mulanya lampu
merah, karena biasanya ke kiri itu jalan terus, saya mencoba jalan dan waktu
itu saya juga terlalu letih, ehh disamping ternyata pos polisi. Langsung saja
pedal rem saya injak sekeras-kerasnya, *ciiitttt,
bunyi ban, berlebihan. Berharap bapak polisi tidak melihat, kami segera
memundurkan motor kebelakang. Namun gerak-gerik kami telah diketahui sebelumnya,
dipanggilah kami ke pos. Inilah yang membuat citra polisi semakin buruk dimata
masyarakat, bukan mencontohkan yang baik, mengingat saya mempunyai surat-surat
motor lengkap mereka malah memeras kami untuk dibelikan rokok. Kalo semisal ada
peraturan memukul oknum polisi yang melakukan perbuatan seperti itu, saya pukul
beneran. *sudahlah, Istighfar saja. Saya
pun membeli dua bungkus rokok yang diminta mereka *semoga saya diampuni. Seharusnya jika polisi yang baik, “Dari mana mas? Tadi melanggar ya, ya sudah
lain kali jangan melanggar ya”, begitu seharusnya. Saya pergi dengan rasa
kesal dan emosi, takutnya ada kejadian yang tidak diinginkan saat perjalanan,
saya mencoba memaafkannya dan meredakan emosi saya.
Perjalanan kami ditutup sholat Dzuhur
di masjid Alun-alun Purbalingga atas keinginan Ulil, dari perjalan ditilang
polisi dia menyarankan untuk mampir di masjid tersebut. Kami diuji lagi oleh
Allah, ban belakang bocor lagi,. *cia,
tambal lagi.
Di tempat wudhunya |
Masjid Alun-alun Purbalingga |
Masjid Alun-alun Purbalingga |
Sekian.
Kenang-kenangan