Sobat
pembaca, kita tentu sudah tahu dan sudah saling memahami. Bagi kita yang
usianya sudah mencapai 18 tahun ke atas pasti akan merasa “tidak enakan”. Tidak enak, kenapa Vi? Tidak enak kalau masih minta
materi (sejenis uang) sama orangtua, tidak enak kalau masih dikasih materi sama
orangtua untuk membeli sesuatu yang kita inginkan atau butuhkan. Begitu, bukan?
Nah
hal “tidak enakan” ini juga menimpa
saya. Entah, perasaan ini muncul tiba-tiba ketika temen-temen Pesantren
Mahasiswa angkatan 2012 waktu itu sudah mandiri. Ya walaupun mandirinya mereka
karena beasiswa. Tapi saya berpikir… itukan juga sebuah perjuangan. Perjuangan bersaing
dengan sekian remaja di Indonesia untuk memperebutkan beasiswa. Lalu bagaimana
dengan saya? Apa usaha yang pernah saya lakuakan untuk meraihnya? Begitulah
kira-kira saya berpikir. Kini saya merasa malu, jika masih disuplai
kebutuhannya oleh orangtua. Setidaknya jika tidak sepenuhnya mandiri, ya bisa
meringankan tanggungan orangtua lah, uang jajan dari hasil sendiri gitu! Per
bulan.
Saya
juga sempat menghitung jumlah keseluruhan biaya. Mulai dari bayar SPP semester
satu sampai akhir, lalu biaya hidup, dan biaya keperluan kuliah lainnya yang
kira-kira sebesar atau kurang lebih dari 100 juta. Saya bener-bener nangis nih,
disini. Besar sekali biaya yang diperlukan, yang harus dibayarkan oleh orangtua
untuk anaknya menjalani kuliah selama lima tahun (4th kuliah dan 1th
untuk jenjang profesi Ners). Walaupun secara lahir tidak kelihatan
meneteskan air mata. Tapi secara batin, hati saya menangis, huhuhu. *ekspresi nangis*
Selama
tiga semester awal saya masih tetap disuplai dari orangtua. Saya selalu berdoa
dan minta didoakan orangtua agar bisa hidup mandiri. Dan Alhamdulillah, pada suatu
waktu seorang meneger Klinik Mafaza Peduli Ummat yakni mas Yuli menawari saya pekerjaan.
Agar saya bisa bertugas (ngesift) di
klinik mafaza pada hari-hari libur, Ahad
dan hari besar. Tawaran ini tidak saya tolak mentah-mentah alias diterima
dengan ikhlas, heheee. Kebetulan
sekali ditawari pekerjaan yang secara basicnya
sesuai dengan kemampuan dan program pendidikan yang saya jalani, perawat.
Alhamdulillah, saya bersyukur pada Rabb yang Maha Agung saat itu. Saya bukan
main senangnya. Sampai-sampai kalau setiap malam itu saya bisa tidur. Lha
memangnya dulu susah tidur? Tidak juga sii… hehee. *timpuk bantal*
Satu
tahun berjalan. Mulai dari diberi gaji Rp100.000 sampai kadang dapat bonus, ya
sekitar Rp280.000 tiap bulan oleh klinik. Dalam satu bulan terkadang hanya 4-6
kali dapat giliran jaga, selebihnya jadwal saya untuk aktivitas kuliah. Jumlah
segitu bagi saya lumayan besar, karena sebelumnya saya tidak pernah
berpenghasilan, heheee. Dari hasil
bekerja ini, saya menabung dan bisa membeli satu unit HP android LG 410 yang harganya Rp800.000 pada waktu itu.
Mulai ada keajaiban.
Setelah
mengikuti ODOJ (one day one juz)
kehidupan saya jadi semakin dekat dengan Al-Qur’an, lebih dekat dengan Allah
karena dalam satu hari harus menyelesaikan membaca Al-Qur’an satu juz. Beberapa
bulan mengikuti ODOJ saya berpikir ini pasti rahmat yang diturunkan Allah pada
hamba-Nya. Kita kan tahu kalau Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu “innallaha ‘alaa kulli saying qodiir”.
Allah memberikan hadiah berupa materi setelah saya mengajarkan membaca
Al-Qur’an pada murid-murid saya.
Kami
dipertemukan oleh Allah melalui perantara yang sudah saya anggap beliau ini sebagai
ibu saya sendiri “Ibu Ida Riyanti” atau anak-anak Pesma biasa menyapanya dengan Bu Darmaji. Beliau lah yang paling
pertama sekali menawarkan pada saya untuk bisa mengajari temannya, atau anak
dari temannya agar bisa membaca Al-Qur’an ketimbang dengan santri yang lain. Ya
wallahu a’lam apa alasannya?
Owh
iya, ustadz Yogi dan beliau juga lah
yang merekomendasi saya dan empat teman santri Pesma lain mendapatkan uang bantuan intensif perbulan yang
jumlahnya Rp200.000. Masya Allah, rejeki memang datangnya tidak disangka-sangka
“wayarzuqhu min khaitsulaa yah tasib”.
Nah, karena inilah saya tidak pernah lagi mengacungkan tangan saya pada
orangtua meminta uang saku, uang jajan, uang bensin, uang ngeprint, dan
uang-uang yang lain. Bahkan dari uang itu saya bisa belajar bersedekah, peduli
dengan saudara seiman dan seislam. Justru disinilah rejeki saya semakin
berlimpah. Alhamdulillah.
Tentunya
ini semua bukan karena hasil kerja keras saya sendiri. Ada Allah yang mendengar
doa dari orangtua, saudara, sahabat, dan juga bantuan dari ibu Ida Riyanti.
Insya Allah, jika saya tidak lupa kelak,
saya akan selalu mengunjungi rumahnya untuk silaturrahim.
Bawa ataupun tidak membawa buah tangan, saya akan paksakan diri sejenak untuk
melihat wajahnya. Barangkali saat itu juga saya belum menikah maka akan saya
lamar salah satu anaknya. Lho, modus ini mah.. *timpuk batu bata* wahahahaaaa, becanda pemirsa.