Imam adalah pemimpin bagi yang
dipimpin. Pemimpin akan dijadikan suri tauladan dan panutan, tentunya dalam
memimpin harus mengetahui bagaimana cara memimpin yang baik, bijak dan adil.
Dalam beberapa minggu terakhir, saya sering adzan di mushola kampus, bukan bermaksud mencari muka atau ingin dinilai
baik oleh teman atau pun dosen, bukan! Karena sebelum adzan di kampus, saya adalah seorang muadzin di desaku dan termasuk salah satu muadzin di masjid
Fatimatuzzahra.
Mengapa suka adzan? Jadi begini
ceritanya, waktu SD, dan bertepatan pada bulan Ramadhan, pihak sekolah
mengadakan lomba adzan. Peserta cukup banyak, dan saat itu pertama kalinya saya mengikuti lomba dengan penonton yang begitu membludak. Untungnya rasa gerogi
bisa terkurangi karena persiapan telah matang. Sampai pada pengumuman lomba,
dinyatakanlah saya sebagai juara satu, wah betapa senangnya kala itu. *lho ko jadi curhat nih, mane nih Nasehatnya.
Dan bukan hanya itu saja, keutamaan muadzin yang membuatku semakin tertarik
adalah “Seorang mu`adzin akan diampuni dosanya
sejauh suara adzan yang ia kumandangkan, dan setiap yang basah dan yang kering
akan memintakan ampun baginya. Sedangkan orang yg menghadiri shalat jama'ah,
akan dituliskan baginya dua puluh lima kebaikan dan dosa antara dua shalat akan
diampuni dengannya”. [HR. ibnu majah No.716]
Imam mushola datang, saya mengumandangkan Iqomah, “Allah hu Akbar
2x…”.
Sholat dimulai, kami melaksanakan sholat
dengan khusuk. Sampai pada ruku’ yang pertama, kami masih khusuk. Yang mengagetkan
setelah ruku’ tiba-tiba I’tidal dan tiba-tiba sujud dan seterusnya dengan jarak
waktu yang begitu cepat dan singkat. Sholat Dhuhur pun seperti orang yang sedang berlomba,
siapa yang paling cepat gerakannya, dia yang menang *Adduh pak Imam nihh.
Kalo bukan karena jabatannya yang
tinggi di kampus, kalo bukan karena jama’ah yang sedang banyak saat itu, dan kalo juga bukan karena saya tidak enak (gerogi)
saat itu. Saya akan menghampiri dan mengatakan “Bapak, sholat adalah serangkaian
ibadah yang kita tunjukan pada Allah, untuk itu laksanakan dengan sebaik
mungkin karena Allah sedang menilai, tidak tergesa-gesa, tuma’ninah, berikan
kesempatan jama’ah untuk menyelesaikan do’a dalam serangkaian sholat.”
Tidak tuma’ninah adalah salah satu
kesalahan dalam sebuah sholat, ketika menjadi imam berarti ia sedang menanggung ma’mumnya, jika imam salah maka tidak ditanggung oleh ma’mum, namun jika
imam salah dan sampai ditiru ma’mun, hal ini berarti imam menanggung kesalahan
dirinya sendiri dan menanggung kesalahan ma’mun yang dipimpinnya. Nah inikan hal yang
mengerikan. Jika seorang tidak mampu menjadi imam, seharusnya ditegur, dan
dicari kriteria yang dapat memimpin sholat, siapa saja yang pantas menjadi
imam? *kita simak jawabannya berikut ini.
Seperti yang telah dijelaskan Rasulullah SAW diriwayatkan
oleh Abu Mas’ud Al-Anshari bahwa “Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling
banyak hafalan Qur’annya. Kalau dalam Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang
paling mengerti tentang ajaran Sunnah. Kalau dalam sunnah juga sama, dipilih
yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah juga sama, dipilih yang
lebih dahulu masuk Islam.”
Adapun hadits Malik bin Al-Huwairits
radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
“Apabila
datang waktu shalat, hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan
adzan dan salah seorang di antara kalian yang paling tua usianya menjadi imam.”
Jadi ada lima tingkatan: pertama, didahulukan yang
terbaik bacaannya, lalu yang paling ahli di bidang hadits Nabi, baru yang
paling dahulu melakukan hijrah, lalu yang paling pertama masuk Islam, baru yang
paling tua usianya.
Bagi Antum yang telah terlanjur
menjadi imam, kemudian tidak sesuai kriteria yang telah Rasulullah sampaikan. Mari
sama-sama memohon ampunan dan lebih banyak belajar dan belajar lagi. Semoga Allah
memberkahi.
0 komentar:
Posting Komentar