Sobat pembaca yang di muliakan Alloh, setiap negara pasti ada seorang pemimpin yang memimpinnya. Andai saja negara kita dipimpin oleh seseorang yang memiliki rasa penuh kasih sayang (seperti kepemimpinannya Nabi Muhammad, Khulafaur Rashidin, dan pemimpin islam terdahulu) pastilah negara kita ini akan terbina dengan baik menurut syariat.
Inilah sedikit Kisah mengenai kepemimpinan Amirul Mukminin Umar Ibnu Khattab yang seharusnya diteladani oleh pemimpin-pemimpin kita termasuk kita sendiri.
Suatu masa
dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu. Masyarakat Arab mengalami masa
paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun pepohonan mengering, tidak
terhitung hewan yang mati mengenaskan, tanah tempat berpijak hampir menghitam
seperti abu.
Putus asa
mendera di mana-mana. Saat itu Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang
sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya saksama. Tanggung
jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari ia menginstruksikan aparatnya
menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat.
Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu,
kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya
Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.”
Umar
menabukan makan daging, minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. Bukan
apa-apa, ia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si pemberani itu,
hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa
panas dan kepada pembantunya ia berkata “Kurangilah panas minyak itu dengan
api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi
nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata,
“Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku
bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”
Hampir
setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah
seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui
kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum
ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.
Malam itu
pun bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung
itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat.
Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang
menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah
itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak.
Setelah dekat,
Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku
api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja
mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.
“Assalamu’alaikum,”
Umar memberi salam.
Mendengar
salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi setelah
itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
“Siapakah
gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan
sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”
“Apakah ia
sakit?”
“Tidak,”
jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
Umar dan
Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu
jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk
isi pancinya.
Umar tidak
habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi
belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang
kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”
Ibu itu
menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri!”
Umar dan
Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka
melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak
percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan
itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa?”
Dengan suara
lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak
batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin
Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah
terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan
anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan
ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib
tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong.
Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air.
Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan
tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar,
sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”
Ibu itu diam
sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab
tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar
penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar
sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam
cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum
di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.
Karena Umar
bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya
yang memikul karung itu….”
Dengan wajah
merah padam, Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam
neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau
akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”
Aslam
tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika terseok-seok Khalifah Umar bin
Khattab berjuang memikul karung gandum menuju ke tempat wanita dan anak-anaknya
yang sedang kelaparan. Ketika sampai di tempat wanita tersebut kemudian
khalifah Umar meletakkan karung berisi gandum dan beberapa liter minyak samin
ke tanah, kemudian memasaknya. Tatkala gandum tersebut sudah masak Khalifah
Umar meminta sang ibu membangunkan anaknya.
“Bangunkanlah
anak untuk makan.”
Anak yang
kelaparan tersebut bangun dan makan dengan lahapnya. Anak tersebut kembali
tertidur dengan perut yang telah kenyang.
“Wanita itu
berkata, terimakasih, semoga Allah membalas perbuatanmu dengan pahala yang
berlipat.”
Sebelum
pergi khalifah Umar berkata kepada wanita tersebut untuk datang menemui
khalifah Umar bin Khattab ra, karena khalifah akan memberikan haknya sebagai
penerima santunan negara.
Esok harinya
pergilah wanita tersebut ke tengah kota Madinah untuk menemui khalifah Umar bin
Khattab ra, dan tatkala wanita tersebut bertemu dengan khalifah Umar, betapa
terkejutnya wanita tersebut, bahwa khalifah Umar adalah orang yang memanggulkan
dan memasakkan gandum tadi malam.
Semoga pemimpin-pemimpin di Negeri ini bisa tertegur hatinya, kemudian bisa meneladani, setidaknya seperti apa yang telah dilakukan Amirul Mukminin tadi. Amin....
0 komentar:
Posting Komentar