Home » Archives for 2015
Rabu, 30 Desember 2015
Rabu, 11 November 2015
Senin, 09 November 2015
Minggu, 04 Oktober 2015
Akhir Akhir Ini Saya Malas Beribadah, Mohon Nasihat dari Ustad
bertemanlah dengan orang-orang yang ahli ibadah
[Continue reading...]
Bagaimana Cara Meringankan atau Menghilangkan Azab Kubur Bagi Orang Tua ...
Ingat bapak ibumu, nak.
[Continue reading...]
Jumat, 18 September 2015
Rabu, 16 September 2015
Sabtu, 25 Juli 2015
LOMBA TPQ UKKI UNSOED
Aufa,
Kiki dan Naila begitu terlihat semangat mengikuti latihan. Agil dan kakaknya
pun tak mau kalah, padahal mereka sedari tadi menahan lapar karena belum
sarapan. Mereka semua tetap bersemangat melanjutkan latihan, uji coba untuk
perlombaan. Melihat kekompakkan mereka, kami kira sudah cukup untuk mengakhiri
latihan kali ini. Kurang lebih dua jam kami memberikan arahan dan bimbingan.
Tinggal membimbing adiknya Aufa –Adzkia-
dalam persiapan lomba hafidzul Qur’an.
Malam
hari tiba. Tiba-tiba ustadz Mahyuddin memanggil, “Mas tolong si Kia (begitu panggilannya) untuk murojaah bersama antum,
kalau dengan saya dia banyak alasan (alias sungkan).” Padahal waktu itu saya juga ingin
setoran pada beliau, tapi yaaa tidak apa-apa demi kebaikan TPQ. Akhirnya saya
pun tidak jadi setoran. *Kenapa jadi curhat? Hehee.
Berdua
dengan kia anak umur 6 tahun, dari selpas Isya sampai jam Sembilan kami berdua bersama
memurojaah juz ama. Asyik juga sih. seandainya saja kelak anak saya mau bareng
murojaah, wahh alangkah bahagianya saya menjadi Abi. *Wadduh ini ceritanya
kemana, toh? Baiklah kita lanjutkan. Peace. Hee.
Keesokkan
harinya tiba. Sebelum berangkat menuju tempat perlombaan, ada beberapa arahan
dari kami untuk tetap semangat, menang ataupun kalah. Dan Adzkia, melanjutkan
persiapannya, masih bersama saya, hehee. Apa karena saya dianggap kakaknya yah?
Wellehh, sopo toh koe wani-wani ngomong kekkue (translate: siapa sii kamu,
berani-berani bicara seperti itu)? *kalii ajah.
Dirasa
sudah siap semua. Kami berangkat.
Kia
menuju ruang perlombaan hafidzul qur’an. Awalnya tidak mau tampil. Alasannya
sepele, ya maklum anak kecil. Malu katanya. Tapi dengan bujuk rayu dari
perangkai kata, saya dan Fahri maksudnya. “Kia
kan udah latihan, tuh liat yang lain saja berani. Kia pasti juga bisa kok.
Semangat 45. Hehee.” Dan akhirnya Kia tampil juga. Alhamdulillah. Huhhh
gemes.
Disisi
yang lain, Lomba cerdas cermat islam. Aufa dkk, terlihat semangat bercampur
aduk rasa bingung. Bagaimana tidak? Ditahap pertama, dengan waktu 20 menit
(kalo nggak salah) harus merampungkan 50 soal pertanyaan essay. *Wuhh luar
biasa kan? Iya biasa. Wadduh.
Panitia
mengumumkan, Waktu selesai! Semua jawaban dikumpulkan! Kami khawatir, tapi saya
melihat mereka tenang-tenang saja. Katanya “Tenang
kak, sudah terisi semua.”
Alhadulillah. Anehnya, disaat anak-anak tenang menanti hasil penyisihan,
kami justru yang paling riewuh, mata kami ditutup, telinga kami disumpel,
berdebar kencang jantung kami, teriakan-teriakan kecil pun keluar saat
pengumuman diucapkan. Dan Hoorree,
mereka masuk nominasi team yang lolos ketahap berikutnya. Yeye yeye,
Alhamdulillah.
Tahap
demi tahap mereka lewati. Kami tetap dalam keadaan yang penuh was-was dan
harap-harap emosi. wadduhh
Dan
akhirnya, Rona keceriaan ada di raut wajah mereka. Setelah beberapa kali
latihan, mereka mendapatkan hasil terbaiknya. Saya katakan terbaik, karena ini
adalah babak awalan. Mereka baru pemula, tapi sudah mampu berkompetisi dengan
TPQ-TPQ yang lainnya. Luarbiasa semengat kalian!
Note
: saya tidak terlalu alay, seperti apa yang saya tuliskan diatas.
Pengalaman Lomba TPQ STIMIK AMIKOM
Mudah-mudahan
dengan kalimat yang singkat ini, dengan tulisan yang tak seberapa ini, dengan
beberapa paragraph yang saya susun ini mengingatkan kita para pengajar dan
santri yang beranjak dewasa bahwa kita pernah punya cerita dimasa lampau. Sehingga
lebih mengeratkan hubungan kita dimasa depan kelak. Amin..
Tri
Pamungkas. Dia kami perhatikan dari sebelumnya dia adalah santri yang pandai
menggambar. Sehingga pada acara lomba menggambar dia sering kami ikutkan
dibidang gambar menggambar. Pada kesempatan lomba kali ini tri terlalu banyak bicara,
ngobrol dengan teman yang mendampingi sebagai penggembira. Sehingga focus
menggambarnya tercepah. Gambarnya memang bagus tapi kurang menarik perhatian
juri. Lain kali
yang serius Tri, kamu punya potensi, Insya Allah pasti juara.
Agiel.
Kalau penilaian kami, walaupun tampil dengan waktu beberapa menit tapi
ekspresinya sudah sangat baik, menjiwai materi yang dibawakan. Yah namanya juga
penilaian. Penilaian itu tidak mesti harus sama. Tidak usah kecewa dan bersedih
hati yah nak dengan kamu belum bisa menjadi juara dari juri. Lain kali kamu
yang jadi juaranya di lomba pildacil insya Allah. Kamu sudah stay cool, keren,
mungkin karena teks lombanya yang terlalu simple jadi nilainya masih rata-rata.
Semangat nak. Kamu sudah
hebat, berani maju kedepan. Ciee…
Adzkia.
Kali ini dia kami delegasikan pada lomba DAI CILIK. Sebelum lomba dimulai kami
melihat semangatnya yang luarbiasa. Saya tidak tahu persis dengan siapa dia
berlatih. Yang jelas kalau boleh saya tebak dia berlatih dengan temen-temen
pengajar akhwat, Mba Reka dan kawan-kawannya. Saat acara sudah dibuka dan
berlangsung beberapa peserta yang maju kepanggung, adzkia terlihat depresi.
Adzkia selalu bilang tidak ingin maju pada saya. Sebisa mungkin saya memotivasi
agar maju melanjutkan perjuanagan. “Kia liat tuh agil juga percaya diri, kak
jovi yakin kia juga bisa. Okke.!” Adzkia tiba-tiba saja menangis tanpa alasan,
dan belum sempat merasakan dinginnya panggung. Ada beberapa kemungkinan yang
menyebabkan kia tidak mau maju. Pertama bisa jadi karena saya yang terlalu
memaksakan dia supaya maju. Kedua karena Kia terlalu gerogi, kurang persiapan, melihat
peserta yang lain maju ke panggung tanpa menggunakan teks. Adzkia pun akhirnya tidak
berani tampil karena teksnya belum terhafal dengan baik. Yah tidak apa-apa.
Lain kali pesan pada pengajar akhwat harus lebih mensupport untuk kedepannya. Okke? Okke mas.
Dan akhirnya ada torehan
prestasi yang kalian bawa pulang ke TPQ Mafaza yang kita cintai. Elegan sekali
nak. Kalian menjadi juara satu dan membawa pulang tropi di lomba drama
islaminya. Kerren. Pertahankan
Aufa, Sasa, Naila, Aban, Syella, dan santri yang lain! Dikesempatan lain kita
ikuti lomba-lomba berikutnya. Siap?
SIAP KAK. Siap jadi yang terbaik lagi?
SIAP KAK. #Buktikan!
Rabu, 22 Juli 2015
UMAM, MENGINGATKAN KASIH SAYANG IBU.
Umam 1 / 2 tahun yang lalu. |
Anak-anak
adalah jenis manusia yang paling sering cidera (trauma), apalagi jika saat dia
beraktivitas atau saat bermain tanpa ada pengawasan dari orangtuanya. Bisa
karena terjatuh, tenggelam, atau tertabrak, dll. Orang yang paling merasakan
cemas, saya yakin orangtua bisa dikatakan dalam urutan yang pertama.
Tiga
puluh menit yang lalu ada seorang balita berusia 2,5 tahun mengalami kecelakaan,
tepatnya tertabrak oleh sepeda motor. Bisa dianggap ringan sii tapi kasian
juga. Sebagian muka sebelah kirinya memar dan lecet. Seorang ibu mendengar dan
melihat kabar tersebut kemudian panic. Tiba-tiba beliau menangis, menghampiri,
memaksa dan meraih ingin menggendong anak tersebut. Tangisannya semakin
menjadi, melihat anak tersebut sedari tadi tidak menangis atau bahkan
mengeluarkan suaranya.
“Ayo
cepat persiapkan dirimu, kita pergi ke rumah sakit terdekat.” Beliau menyuruh
saya untuk bersiap-siap. Saya juga termasuk orang yang khawatir. Karena dia sudah
saya anggap sebagai adik sendiri. Umam namanya, sedari kecil sampai saat ini
dia sering main ke rumah. Kadang nonton tv bersama, ikut makan, bahkan pernah
tidur di rumah saya.
“Ayo
cepat, ayo mas!” Beliau semakin khawatir karena saya yang masih belum saja
menyiapkan diri. Saya mondar-mandir mencari kunci motor yang belum ketemu juga.
Karena panik, benda yang tadinya terlihat menjadi hilang, susah dicari. Aneh
sekali.
Ya
beliau ibu saya. Sepertinya beliau sudah menganggap Umam sebagai anaknya, anak
bontotnya. Saya merasakan bagaimana emosionalnya ketika melihat umam dalam
keadaan seperti itu, beliau menunjukkan kekhawatirannya. Setelah sampai di
rumah sakit, Umam dianggap tidak apa-apa oleh dokter. Alhamdulillah.
2 tahun kemudian, setelah kecelakaan. kasihan, mukanya cemberut |
Kejadian
ini mengingatkan saya pada dua belas tahun silam. Jika saat ini usia saya dua
puluh tahun berarti dulu saya berusia delapan tahun. Baiklah kembali pada
cerita. Saat itu saya sedang bermain sepeda. Hendak pulang kerumah, tiba-tiba ada
gerobak nyasar yang berkecepatan tinggi menghampiri saya. Oh tidak. Tapi untungnya
persis disamping sepeda yang saya naiki ada batu yang lumayan besar sehingga
sebelum gerobak itu menghantam saya, gerobak itu terlebih dulu menghantam batu
tadi dan gerobak pun terguling menindih saya. Jadi saya didalam gerobak yang terbalik.
Alhamdulillah selamet. Rejeki anak sholeh. Hehehee.
Saya
hanya bisa berdiam termenung, takut, trauma setelah kejadian yang saya anggap
begitu mengerikan #lebay. Ehh iya betul, lho!. Ada bapak menghampiri dan
membalikkan gerobaknya. Dia terkaget karena saya ada didalamnya. "Lho nak,
sedang apa kamu di dalam?”, “Gerobak bapak yang sedang apa? Kok tiba-tiba
menggelinding kearah saya.” Hehehee intermezzo saja. Kemudian bapak yang
membawa grobak secara ugal-ugalan tadi menggendong saya ke rumah. Rumah saya tidak
jauh dari kejadian. Ibu yang mendengar kronologi kejadian tadi sontak
saja memeluk dan mengendong saya secara erat, erat sekali. Beliau khawatir,
mananyai berbagai macam hal pada saya. “Mas kamu tidak papa? Ada yang lecet,
mas?” Saya hanya terdiam.
Ohhh
Ibuuu…Sampai saat ini kasih sayangmu luar biasa.
Mari
hormati, taati, sayangi, doakan, dan berbaktilah kita kepada kedunya sampai
masa tuanya, sampai menghadap keharibaan Allah SWT. Mudah-mudahan dengan itu
menjadi pelecut menghantarkan diri kita pada kesuksesan dunia dan akhirat. Keridha’an
Allah bergantung pada keridha’an orangtua.
Sampai-sampai ada pesan yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim bahwa Rasulullah Sallallahu
’Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh
kasihan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya,
kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah
menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga.”
Minggu, 19 Juli 2015
TERTARIK USAHA BAKSO
Sewaktu di Bandung, tiga tahun yang lalu, saya pernah tinggal di
kontrakkannya belek Atun. Biasa anak muda, pingin cari pengalaman dari
treveling. Hehehee. Sebenarnya dulu ingin nyari kuliah disana, tapi karena
suhunya yang terlalu ekstrim, saya mengurungkan niat untuk kuliah disana.
Suami Bulek Atun, Om Wari, menurut saya bisa disebut sebagai
juragan bakso. Selain memproduksi bakso dalam jumlah besar dengan tangannya
sendiri, beliau juga mempunyai delapan gerobag bakso dan tujuh karyawan yang menjualkan
bakso-baksonya. Hampir setiap hari, disana yang namanya bakso bisa
masuk kedalam perut saya. Pertama karena rasanya yang enak, kedua tanpa
mengeluarkan dompet dari kantor“bayar” alias gratis. Hehehee.
Setelah tiga tahun terlewati, saya berpikir mengapa saya tidak
mencoba belajar membuat bakso tersebut. Saya tertarik dengan baksonya um Wari
ini, rasanya itu berbeda dengan bakso-bakso pada umumnya. Nikmatnya istimewa,
dagingnya berasa, waahh pokoknya.
Harapannya kedepan saya ingin
menjadi pegawai yang berwirausaha, atau sebaliknya enterpreneur yang menjadi
pegawai. Saya tidak ingin menghabiskan waktu saya hanya duduk di depan computer
dan menyelesaikan berkas-berkas yang membosankan. Dengan berwirausaha mungkin
menjadi solusi yang tepat.
Seandainya bakso ini bisa saya buat sendiri dengan tidak
mengubah cita rasa aslinya, insya Allah, prospek finansial selama menjadi
mahasiswa rasa-rasanya mencerahkan, dompet tebel teruus #isinya banyak tagihan maksudnya? hehehe
Bahkan setelah lulus, sepertinya dari bakso ini masih menjadi
suatu yang harusnya dipertahankan. insya Allah. selain mencukupi kebutuhan anak
dan istri, juga sebagian bisa di alokasikan untuk bakti sosial. Insya Allah.
MUDAH-MUDAHAN SAYA TIDAK HANYA PANDAI BERBICARA. TAPI MAMPU MEREALISASIKANNYA.
YANG TERPENTING ACTION JOV!!
Akhirnya H+1 (18 Juli 2015) setelah lebaran saya mencoba belajar
membuat bakso. Mulai dari membeli daging dan bahan-bahannya, kemudian antri
untuk penggilingan, megolah daging tadi menjadi bakso, sampai pada saya
merasakan sendiri baksonya. Heheee.
Ternyata membuat bakso tidak sesulit yang saya bayangkan. Mudah.
walaupun hasil baksonya belum bisa sebulat dengan bakso yang lain. Membuat
bakso sendiri saja relatif cepat, apalagi jika dibantu istri tercinta. Dia
memberikan bantuannya dengan kasih sayang, pasti akan menjadi bakso yang
istimewa dan jauh lebih cepat. #LHO, kenapa lagi-lagi berbicara istri?
Bakso telah siap dihidangkan. Saya mencobanya, dan saya rasa
bakso buatan saya tidak kalah jauh dengan bakso-bakso pada umumnya. Bener.
Suerr. Eh bener ini saya nggak bohong. Yah kapan-kapan kalau anda tidak percaya
anda bisa membeli bakso buatan saya. Lho, kenapa jadi promosi disini? Hehee
berikut dokumentasinya.
ANTRI DI PENGGILINGAN |
PEMBENTUKAN BAKSO |
SELESAI |
HARGAI APA YANG DIHIDANGKAN
Sewaktu
kecil, kalo tidak salah saat itu kelas 2/3 (8 th) saya pernah menolak beberapa makanan
yang dihidangankan ibu. Beberapa makanan itu seperti sayur-mayur, ikan, ayam,
dll. #lha trus yang dimakan apaan? Hehehee
Padahal
baru saja melihat bentuknya, saya seperti sudah mempunyai pandangan, “Wah ini
tidak menarik, pasti tidak enak rasanya.” Alhasil, ibu sering ngomel-ngomel. “Coba
saja dulu mas, baru berkomentar.” Suara ibu dengan nada meninggi. Bapak juga
ikut menasihati, “Lihat bapak mas, apapun makanan yang ibu sajikan, bapak suka.
Ehmm nikmat.” Lalu lanjutnya, “Syukuri. Ketika kita pandai bersyukur, semua
makanan terasa lebih nikmat. Sueerr.”
Daripada
ibu ngomel-ngomel terus, iseng-iseng saya mencoba memakan apa yang ada di meja
makan. Wah enak ternyata, bener, ini bener-bener enak. Seketika ibu nyeloteh
sambil njewer salah satu telinga saya, aduh-aduh-aduh bu. “Makannya, dirasain
dulu, baru bicara.” Semenjak saat itu, saya selalu berusaha menghargai makanan.
Apapun jenis dan bentuknya. Semuanya masuk, saya doyan, kecuali jengkol dan
pete. Heehee.
Ada
beberapa hikmah yang bisa dipetik. Apabila kita mensyukuri apa yang ada, semua
terasa lebih nikmat. betul, dan ini sejalur dengan yang telah Allah firmankan lain syakartum la adziidannakum. Jika kamu
pandai bersyukur, akan Aku tambah nikmat-Ku padamu. Nikmat itu bisa ditambah baik
dari kuantitasnya maupun kualitasnya. Rosulullah juga mengajarkan pada kita,
apabila beliau tidak menyukai makanan beliau tidak pernah menghina makanan tersebut.
Hikmah
yang lain, ibu sebagai penyaji makanan hatinya pun tersenyum karena hasil
usahanya dihargai. Tidak cepat menua sehingga tetap enak dipandang dan tensi
darahnya akan stabil, sehat selalu, hehee. Seandainya ini dilakukan oleh setiap
suami, insya Allah jalinan rumah tangga diantara keduanya akan semakin erat
sampai kiamat. Hehehee. Tapi ada yang harus diperhatikan, jangan mentang-mentang
seorang suami diajarkan oleh Rosulullah untuk menghargai makanan kemudian
seorang istri memasak dengan seenaknya. Maksudnya memasak tapi tidak
memperhatikan rasa. Seenaknya memberikan garam, atau bumbu-bumbu yang lain
secara berlebihan, yang menjadikan rasa makanan itu tidak nikmat. bagaimana jalinan
rumah tangga akan romantis? Belajarlah memasak. Perhatikan ibu anda ketika
memasak. Saya juga bisa, masa anda yang perempuan tidak bisa. #lho.
Perempuan
hebat. IBU. Itu sebutan untuk Anda. Kasihmu sepanjang masa.
Kamis, 21 Mei 2015
Suami yang Terkejut
Ciptakan sesuatu yang berkesan saat pertama bersama.
Mulai hari ini yang sudah berkomitmen berhijab, istiqamahlah. Hijab bukan sekedar hijab. Melainkan tertutupnya tubuh secara sempurna. Yang belum berhijab. Ayo nunggu apa lagi?
Ada kisah yang belum terlupa. Seorang muslim yang menikahi seorang muslimah. Malam hari pun tiba. Beberapa saat menjelang istirahat, sang suami ijin keluar kamar. Mungkin karena gerogi sehingga mempersiapkan diri (ini tambahan dari saya. Hehee. Kali aja gitu.)
Setelah kembalinya, ia terkejut. "Haaahhh..." Bergumam mulutnya, "Bidadari dari mana ini? Cantik sekali." Kemudian tertunduklah kepalanya, dan ucapan maaf pun keluar dari lisannya, "Afwan, saya salah masuk kamar."
Sang istri terheran, mengapa salah kamar? Bukankah ini kamar milik mereka berdua. Yang tidak satu pun orang diijinkan untuk masuk, khusus untuk mereka saja, dan penghuni dunia hanya ikut numpang (hallah... ini sudah terlalu lebay. Hehee sorry-sorry. Lanjut...!! okkree)
“Abi (aduhh saya jadi bingung mau dipanggil apa? tulis Abi saja yah. Okke) mau kemana?” tanya sang istri.
“Kamu betul istri saya? sumpah? Nggak salah mata ini memandang?” jawabnya dengan hati yang berdebar.
Inilah salah satu dari sekian banyak faedah berhijab. Bahkan sampai-sampai seorang suami mengira wanita yang berada dikamarnya bukan istrinya. Karena baru pertama kali sang suami melihat istrinya tanpa mengenakan penutup kepala, dia terheran-malu. begitu cantik, memesona, asing mata malihat. Masyaallah
Karena kecantikan anda bukan untuk diumbar, hanya untuk seorang tercinta, suami anda. Itu menjadi kado yang spesial baginya.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Ahzab: 59
[Continue reading...]
Mulai hari ini yang sudah berkomitmen berhijab, istiqamahlah. Hijab bukan sekedar hijab. Melainkan tertutupnya tubuh secara sempurna. Yang belum berhijab. Ayo nunggu apa lagi?
Ada kisah yang belum terlupa. Seorang muslim yang menikahi seorang muslimah. Malam hari pun tiba. Beberapa saat menjelang istirahat, sang suami ijin keluar kamar. Mungkin karena gerogi sehingga mempersiapkan diri (ini tambahan dari saya. Hehee. Kali aja gitu.)
Setelah kembalinya, ia terkejut. "Haaahhh..." Bergumam mulutnya, "Bidadari dari mana ini? Cantik sekali." Kemudian tertunduklah kepalanya, dan ucapan maaf pun keluar dari lisannya, "Afwan, saya salah masuk kamar."
Sang istri terheran, mengapa salah kamar? Bukankah ini kamar milik mereka berdua. Yang tidak satu pun orang diijinkan untuk masuk, khusus untuk mereka saja, dan penghuni dunia hanya ikut numpang (hallah... ini sudah terlalu lebay. Hehee sorry-sorry. Lanjut...!! okkree)
“Abi (aduhh saya jadi bingung mau dipanggil apa? tulis Abi saja yah. Okke) mau kemana?” tanya sang istri.
“Kamu betul istri saya? sumpah? Nggak salah mata ini memandang?” jawabnya dengan hati yang berdebar.
Inilah salah satu dari sekian banyak faedah berhijab. Bahkan sampai-sampai seorang suami mengira wanita yang berada dikamarnya bukan istrinya. Karena baru pertama kali sang suami melihat istrinya tanpa mengenakan penutup kepala, dia terheran-malu. begitu cantik, memesona, asing mata malihat. Masyaallah
Karena kecantikan anda bukan untuk diumbar, hanya untuk seorang tercinta, suami anda. Itu menjadi kado yang spesial baginya.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Ahzab: 59
Rabu, 29 April 2015
SETELAH KESULITAN ADA KEMUDAHAN
Alhamdulillah, kali ini adalah salah satu tulisan saya yang lolos seleksi kepenulisan. Mudah-mudahan memberikan manfaat. Amin. Cekidot.
[Continue reading...]
By Jovi Ardan
Mimpi,
setiap orang pasti mempunyainya. Mimpi, menjadikan seseorang memiliki semangat dalam
menjalani hidupnya. Mimpi, dapat mengubah keadaan seseorang, baik pada segi psikologi,
pola pikir, maupun perilakunya. Karena mimpi, hidup menjadi lebih berarti.
Hidup akan penuh warna, seiring dengan usaha untuk menggapai mimpi.
Aku
adalah manusia biasa pada umumnya, tidak ada bedanya sama sekali. Hanya taqwalah
yang Allah jadikan sebagai pembeda derajat antara manusia satu dengan manusia lainnya.
Aku juga mempunyai mimpi. Mimpi yang dimiliki setiap orang tua. Ya, betul. Aku ingin
menjadi seorang hafidz Qur’an. Menjaga bacaan Al Qur’an dalam diri, hati, dan pikiran.
Ketika
keinginanku (mimpi) ini kusampaikan pada kedua orang tua. Sungguh aku tidak tahu
bagaimana cara menggambarkan ekspresi wajah mereka. Gembira dan haru yang
kulihat dari raut keduanya. Aku yakin, rasa itu bercampur menjadi satu memenuhi
relung hati mereka. Senyum keduanya merekah bagai bunga-bunga yang bermekaran.
Apalagi
ibu, beliau menangis terharu saat mendengar ucapanku. Beliau sentak saja memelukku
dan berjanji akan selalu mendoakanku disetiap akhir shalatnya. Dalam batinku berucap
“MasyaAllah, ibu sebegitu bahagianya,
sebegitu perhatiannya padaku. Aku harus sungguh-sungguh dalam menjalani proses
menghafal.”
Bapak.
Walaupun bapak adalah orang yang kelihatannya selalu tidak peduli. Tapi dari raut
wajahnya, aku yakin bahwa dalam hati yang terdalam, beliau mengatakan “Bapak bangga padamu, Nak. Lanjutkan perjuanganmu.
Gapai mimpimu. Bapak akan selalu mendoakanmu.” Bapak adalah orang yang
peduli dalam diamnya. Semasa SD hingga SMA, keberadaanku selalu ditanyakannya.
Hanya saja, bapak tidak pernah menanyaiku secara langsung. Bapak hanya berani bertanya
pada ibu dan kedua adikku. Mungkin bapak terlalu malu dengan putra pertamanya ini.
Putra yang memikul amanah, harus menjadi teladan bagi adik-adiknya. Putra yang
akan menjadi harapan keluarga kelak. “InsyaAllah,
Pak. Aku mengerti tentang yang Bapak maksud. Aku akan ingat perjuanganmu membesarkanku
dengan jerih payahmu.”Gumamku dalam hati.
Sore
itu aku di ruang sound Masjid Fatimah, tempat dimana biasanya aku menghafal kalam-kalamNya.
Setelah shalat Ashar, telah terhafal surat Al Ma’arij *Alhamdulillah*. Butuh waktu
seminggu untuk menghafalnya. Surat Al Ma’arij tidak terlalu susah bagiku,
karena sebelumnya aku sangat menyukai surat ini. Ketika ustadz Rian atau ustadz
Sofwan membacanya dalam shalat berjamaah, aku betul-betul terkesima dan menghayatinya
satu demi satu ayat yang dilafalkan. Terasa sejuk didengar. *Subhanallah*
Setelah
surat Al Ma’arij terhafal. Kini surat Al Haqqah yang aku prioritaskan selanjutnya,
mengingat ayat-ayat dalam surat Al Jin sangat panjang dibanding surat Al Haqqah.
Jika dua surat ini telah terhafal, maka juz dua puluh sembilanaku telah menyelesaikannya.
*Insya Allah*
Sudah
hampir seminggu kulalui. Sepuluh ayat yang baru kuhafal, dari lima puluh dua ayat
surat Al Haqqah. Bahkan, jika aku tidak melihat mushaf Qur’an, bacaanku tak benar-benar
lancar. Ada apa denganku ini? Tidak biasanya seperti ini. Dengan berbagai upaya
aku kembali menghafalnya, tapi tetap tidak ada perubahan. Tetapsaja, aku kesulitan
menghafal.
Ayat
demi ayatnya serasa begitu asing, begitu sulit untuk dilafalkan. Lidahku kelu untuk
melafalkannya kembali. Aku kelelahan mengulang-ulang ayatnya. Sering kali aku ingin
menangis. Aku jengkel pada surat ini, dan pernah menyatakan ingin berhenti dari
perjuangan ini. Berhenti sampai disini.
“Biarlah cukup sampai disini, sudah banyak surat yang aku hafal.”
Nampaknya,
Allah tidak setuju dengan keputusanku. Allah mengingatkanku pada dua ayat dalam
surat Al Insyirah yang berbunyi“Maka sesungguhnya
bersama kesulitan itu ada kemudahan (4). Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan
(5)” Allah memberiku kalimat semangatnya, bahwa setelah adanya kesulitan pasti
ada kemudahan.
Ternyata
memang benar. Lalu Allah datangkan teman-temanku sebagai pelipur lara. UlilFiqi
yang mendengaraku akan berhenti menghafal, dia menasehatiku. “Istighfar, Jov. Istiqamah, tetap semangat” tegur
Ulil. *Astaghfirullahaladzim* Apa yang aku lakukan. Aku telah berikrar akan menjadi
seorang hafidz, mengapa aku harus berhenti karena cobaan yang sekecil itu. Ulil
saja hampir menyelesaikan surat Al Baqarah, masa aku harus berhenti di surat Al
Ma’arij.
Kemudian
Allah pun menghadirkan Mas Udin menemani dan membimbingku dalam menghafal surat
Al Haqqah. Kami sering murojaah bersama, saling membenarkan jika ada yang salah
satu sama lain. Dan selang beberapa hari kemudian, akhirnya surat Al Haqqah terhafal
juga. Aku ingin menangis tapi sulit sekali meneteskan air mata. Ucapan syukur
Alhamdulillah terucap keluar dari mulutku. Bahagiaku membuncah, memenuhi ruang dalam
hati.
Tidak
hanya itu saja yang mengingatkanku untuk
kembali bersemangat dalam menghafal. Aku teringat wajah kedua orang tuaku yang
begitu bahagianya mendengaraku ingin menjadi seorang hafidz. Aku tidak ingin mengecewakan
keduanya karena keputusasaanku. Aku yakin, berkat doa kedua orang tuaku juga,
sehingga aku merampungkan juz dua puluh sembilan. Alhamdulillah, kini aku akan melanjutkan
menghafal di juz dua puluh delapan.
Akan
kuingat selalu ayat ini“Maka sesungguhnya
bersama kesulitan itu ada kemudahan (4). Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan
(5)”. Tidak hanya dalam masalah yang hadir dalam menghafal, melainkan untuk
semua masalah, dan kesulitan yang menimpaku dalam kehidupan sehari-hari.
Keep
Spirit J
Tentang Penulis
Jovi
Ardan yang dilahirkan 20 tahun silam mempunyai impian menjadi hafidz Qur’an.
Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan di STIKes Harapan Bangsa Purwokerto.
Menjad isantri di Pesantren Mahasiswa Masjid Fatimatuzzahra. Jika ingin tahu lebih
lanjut mengenai penulis silahkan Hub. Whatsapp
081903156990, Facebook Jovi Ardan, e-mail joviardan@gmail.com.
Annikahu Miftahur Rizki // Menikah Membuka Pintu Rizki
Saya
jadi teringat sebuah kisah inspiratif dari saudara kita, Arif Nur Salim atau
popular disebut dalam karya-karyanya, yaitu Salim A. Fillah. Saya kagum dengan
satu orang ini. Saat ditanya persiapannya menikah adalah dengan bermodalkan Bismillah.
Keinginan menikah sudah ada sejak SMA, namun baru kesampaian saat kuliah
semester tiga, ketika itu usianya dua puluh tahun.
Sebelum
menikah, dia belum mempunyai pekerjaan tetap. Tapi kang Salim selalu yakin
bahwa Allah yang akan mencukupkan rezekinya kelak setelah menikah. Ketika
memantapkan diri untuk menikah, dia berencana menulis beberapa buku, yang hasil
penjualan buku tersebut akan ia gunakan untuk pemenuhan kebutuhan setelah
menikah.
Kang
Salim menikah tanpa didahului pacaran, seperti banyaknya muda mudi saat ini.
Niatnya menikah untuk memenuhi separuh agamanya, menjalankan ibadah. Tidak
penting siapa calon istrinya, yang terpenting bagi Kang Salim adalah seorang
muslimah yang shalihah dan teguh pada agama. Maka ketika ia mengkhitbah calon istri dan ditanyai calon
mertua tentang banyak hal, ia hanya menjawab, “Urusan saya kemari adalah ingin
menikahi anak bapak secepatnya karena Allah. Jika tidak dengan anak Bapak,
mungkin sepulang dari sini saya bertemu Akhwat yang mau menikah dengan saya,
saya akan segera menikah dengannya. Karena kata ustadz saya, apabila keinginan
menikah sudah muncul dalam diri, segeralah menikah dan jangan menundanya.”
Hati
calon mertua pun luluh, dan mantap mengamanahkan putrinya pada Kang Salim.
Sebenarnya dia tidak punya modal financial yang cukup saat memutuskan untuk
menikah. Untuk keperluannya menikah saja, ia harus berhutang 12 juta. Mulanya
setelah menikah nanti dia akan mengangsur hutangnya dalam tempo dua tahun.
Alhamdulillah, atas kuasa Allah, hutangnya terlunasi dalam waktu dua bulan. Karena setelah menikah, buku pertamanya
yang berjudul ‘Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan’ menjadi sasaran para
pengunjung toko buku. Masya Allah.
“Saya
yakin, siapa pun yang menikah karena Allah dengan modal Bismillah, Allah pasti
akan memudahkan segala urusan hambaNya. Alhamdulillah, saya merasakan semua
janji kebenaran itu.” Kata Kang Salim.
Rabu, 08 April 2015
GARA-GARA KAJIAN
Dulu saya sempat menyukai menulis, sampai sekarang pun menulis masih menjadi kegemaranku, nulis status, hehee. Banyak sudah kompetisi yang pernah saya ikuti, dan yang ini nih, salah satu karangan fiksi yang hampir nyata *ngumpet kolong meja* yang mungkin kurang menarik sehingga belum bisa lolos seleksi. Yah....Nggak papa sih, namanya juga lagi belajar. Selamat membaca.
[Continue reading...]
Senja
menjelang. Badanku masih penuh dengan peluh. Baru saja kami menyelesaikan sepak
bola di halaman masjid. Lelah sepulang kuliah tidak menjadi halangan untuk
tetap bermain. Canda tawa, kami lalui bersama. Kebersamaan ini menjadi
penghibur ketika tugas kuliah menumpuk begitu tinggi.
Sebenarnya
jika dibandingkan dengan teman-teman sesama santri, mungkin aku termasuk santri
yang bisa dibilang berkecukupan dalam segi finansial. Bukan! Bukan karena aku
sudah bekerja atau punya usaha. Tapi itu semua dari bapak. Aku belum bisa
menghasilkan uang. Aku belum sepenuhnya mandiri. Jika uang dalam dompetku habis,
aku hanya bisa merengek meminta pada orang tua. Bapakku adalah seorang PNS, guru
di salah satu SD di kampungku. Sedangkan ibuku hanyalah ibu rumah tangga yang
kadang membantu bapak mencari rejeki. Aku punya dua orang adik. Yang pertama di
bangku kuliah, yang kedua masuk tahun pertama di bangku SMP.
Aku
mahasiswa semester empat Kesehatan di Perguruan Tinggi Swasta Purwokerto. Banyak
hal yang masih belum kumengerti. Apalagi kuliah, aku sering lalai dan
menyepelekan tugas yang diberikan dosen. Sifatku yang kekanak-kanakan ketika
SMA masih terbawa hingga saat ini.
Selama
satu setengah tahun terakhir, sifat kekanak-kanakan itu menjadi ciri khasku
dibanding dengan santri lain. Oh iya, perkenalkan aku juga seorang santri di
salah satu pesantren khusus untuk di tinggali mahasiswa. Predikatku sebagai
santri tidak mencegahku dari dunia musik. Aku masih sering mendengarkan musik sebelum
tidur. Aku masih gemar menonton film.
Bermain game pun menjadi bagian dari aktivitasku
saat itu. Semuanya mempengaruhi prestasi kuliah yang semakin menurun. Akibatnya,
tugas-tugas kuliah terabaikan. Bahkan aku pernah sampai dihukum dosen gara-gara
lupa tidak mengumpulkan tugas. Memang, walau sifatku yang seperti itu, tapi aku
tetap saja mempunyai rasa malu. Masa,
santri sampai lupa tidak mengerjakan tugas. Padahal seharusnya, mahasiswa yang nyantri harus menjadi teladan bagi yang tidak
nyantri.
Yah.
Itu satu setengah tahun terakhir yang aku lewati. Bagaimanapun, pesantrenku semakin
hari semakin sering menyelenggarakan kajian. Kajian-kajian itu semakin hari
semakin membuatku termotivasi. Bagaimana cara meraih mimpi dan cita-cita. Kini,
sedikitnya ada perubahan yang aku rasakan. Sifat kekanak-kanakan itu mulai
terkikis seiring berjalannya waktu. Apalagi, banyak teman santri satu angkatan
yang sering menceritakan prestasi-prestasi yang mereka raih. Mulai dari prestasi
akademik hingga non akademik.
Mendengar
mereka bercerita dengan rasa bangga, ada semacam beban yang pelan-pelan terasa.
Aku merasakan kesedihan, bahkan hendak menangis. Aku ingin berteriak, “Haahh, Apa yang aku lakukan selama ini?
Aku hanya menyia-nyiakan waktu yang diberikan Allah. Aku terlalu banyak
melakukan hal bodoh. Bagaimana nanti jika kedua orang tua menanyai kuliahku?
Bagaimana nanti jika pihak pesantren pun menanyai hal yang sama? Akan kujawab
apa pertanyaan itu?
Aku
sedih. Aku teringat bapak dengan kerja kerasnya mencari nafkah untuk menghidupi
istri dan anaknya. Aku ingat bagaimana bapak harus bekerja siang malam untuk
membiayaiku, sebelum beliau diangkat menjadi pegaawai lima tahun lalu. Dengan
gaji pokok sebagai guru yang tidak seberapa, bapak harus bekerja serabutan
untuk memenuhi kebutuhan. Beliau menjadi sopir angkudes ketika orang lain
beristirahat, setelah Asar. Berangkat Asar, pulang jam delapan malam. Jarang
sekali bapak istirahat, sehingga shalat Subuh kadang kebablasan.
Tidak
jarang, Bapak jatuh sakit karena pulang basah kuyup ketika musim hujan.
Pekerjaan serabutan dilakoni bapak selama sembilan tahun terakhir. Bapak tidak
mengeluh, beliau tetap semangat demi memenuhi kebutuhan kehidupan, demi kelancaran
pendidikan anak-anaknya.
Kemudian
ibu. Untuk memenuhi kebutuhanku di tempat rantau, ibu berdagang kecil-kecilan
di SD yang bapak tempati. Berjualan jajanan ringan, lontong untuk sarapan dan
sejenisnya. Keuntungannya memang kecil, tapi setelah dikumpulkan dalam satu
bulan, Alhamdulillah uang itu bisa mencukupi kebutuhanku satu bulan ke
depan.
Subhanallah.
Mereka semua berjuang demi kelancaranku meraih cita-cita. Sementara aku hanya bermain-main
saja. Ini adalah balas budi yang tidak baik. Bukan begini harapan orang tua. Hah, kenapa aku begini? Aku ini anak
pertama, seharusnya menjadi contoh bagi adik-adikku. Memberikan panutan yang
patut untuk ditiru. Dan kelak akan menjadi harapan keluarga.
Mulai
hari itu, sepulang kajian dengan bahasan Bagaimana
Jerih Payah Orang Tua Membesarkan Anaknya. Aku segera membenah diri. Aku
tidak ingin hidup hanya seperti ini, dipenuhi bermain tanpa memikirkan masa
depan. Aku ingin menjadi kebanggaan orang tua. Aku tidak ingin bergantung terus
pada keduanya.
Kini,
sudah banyak kerutan di wajah mereka. Sudah banyak rambut yang beruban pula.
Tenaganya sudah tidak sekuat dulu lagi saat masih muda. Aku harus bisa mandiri
menghidupi diri sendiri. Alhamdulillah waktu itu ada yang menawariku pekerjaan.
Tanpa pikir panjang aku terima, karena memang pekerjaan itu halal. Yah,
walaupun penghasilannya tidak bisa membayar dan mencukupi keperluan kuliahku,
tapi setidaknya dapat meringankan beban orang tua. Aku makan dari uang jerih
payahku sendiri. Masya Allah, begitu senangnya ternyata.
Lagi-lagi
teman-temanku menceritakan prestasi yang mereka raih. Membuat aku semakin iri,
dan terpacu ingin bersaing dengan mereka. Aku tidak hanya ingin menjadi
pendengar mereka. Aku pun ingin dan akan meraih apa yang mereka bisa raih. Aku
juga ingin mengalami apa yang mereka alami. Mulai saat itu aku berubah 180
derajat. Semua hal yang sia-sia, aku tinggalkan. Mendengarkan musik, menonton
film, tidur-tiduran aku jauhi. Biasanya aku tidur lebih dari delapan jam
sehari. Itu dihitung sudah dengan tidur siang. Saat ini tidur pun aku kurangi.
Uang jatah makanku aku sisihkan untuk kubelanjakan membeli buku. Agar wawasanku
luas dan bertambah.
Aku
mulai merajut mimpi-mimpiku. Aku tuliskan satu demi satu mimpiku pada dua
lembar kertas. Aku tulis semua hal yang aku inginkan. Aku terinspirasi mereka.
Aku ingin menjadi penulis yang di setiap kalimatnya terkandung nasihat yang
bermanfaat bagi para pembacanya, sehingga para pembaca dapat terinspirasi dan
melakukan kebajikan itu. Hal tersebut dapat mengalirkan pahala padaku.
Seperti
yang telah dijelaskan dalam sebuah hadis “Barang
siapa yang memberikan contoh melakukan kebaikan, kemudian perbuatannya diikuti
orang. Maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi pahala orang tersebut.”
Untuk
hal tulis menulis aku selalu terinspirasi oleh Ustadz Arian Sahidi, Mas Yogi
Baskara, Arifin Budi, Sarip Subandi, Mas Udin, dan masih banyak lagi
penulis-penulis lainnya.
Menghafal
Qur’an adalah mimpiku selanjutnya. Aku terdorong dan terinspirasi anak-anak kecil
yang sudah bisa menghafal Al Qur’an. Aku sering menangis melihat mereka begitu
lancarnya melafalkan kalam-kalamNya yang begitu indah. Ustadz Sofwan Al Hafidz
dan Ustadz Rian Al Hafidz pun berhasil membuatku semakin bertambah iri.
Keduanya mempunyai suara yang begitu merdu dan sulit untuk ditiru. Dari
rangsangan-rangsangan tersebut aku ingin menjadi hafidz Qur’an seperti mereka,
pasti kedua orang tua pun akan bangga. Dan bukankah penghafal Al Qur’an akan
dimuliakan oleh Allah sebagaimana sabda Rasulullah saw “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Al-Qur’an dan
merendahkan kaum yang lain” (HR. Muslim).
Ulil
Fiqi telah memulai dan mendahuluiku. Dia telah genap menghafal juz tiga puluh, juz
satu dan dua. Masya Allah, hebatnya. Mas Udin ternyata juga sama, namun beda
juz yang dihafal, yakni juz tiga puluh, dua sembilan dan hampir menyelesaikan
juz dua delapan. Mereka berdua menjadi teman saat aku mengalami kesusahan
menghafal. Saling memberikan arahan dan nasihat saat kemalasan datang. Memang
benar apa yang pernah disabdakan suritauladan kita, Rasulullah saw. Bahwa Beliau
bersabda
“Permisalan teman duduk yang baik dan
teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Bergaul
dengan penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa
jadi engkau membeli darinya dan bisa jadi engkau
akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara bergaul dengan pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara bergaul dengan pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Betapa
beruntungnya aku bisa ditemukan dengan mereka semua menjadi satu keluarga. Saling
berwasiat dalam kebajikan, berbagi manfaat, dan saling memberi kalimat
semangat.
Alhamdulillah.
Saat ini dua juz sudah terhafal. Ketika aku kabarkan pada orang tua, mereka
begitu senangnya. Apalagi saat aku pulang ke rumah. Bapak selalu menunjukku
untuk memimpin shalat di masjid terdekat.
Aku
akan selalu belajar, beribadah, bekerja, dan berdoa untuk kelancaran masa
depanku. Aku sedang menanti kesuksesan itu. Menjadi manusia yang beruntung
setiap harinya. Mencoba memperbaiki diri di pergantian hari.
“Merugilah manusia, jika hari ini
sama dengan hari kemarinnya. Dan hari selanjutnya sama dengan hari ini.” Kalimat
bijak yang aku pegang untuk selalu mawas diri.
Keep
Spirit J
Tentang Penulis
Jovi
Ardan terlahir sebagai anak pertama dari kedua orang tuanya. Saat ini penulis
sedang menempuh pendidikan di STIKes Harapan Bangsa Purwokerto, sekaligus
menjadi santri di Pesantren Mahasiswa Mafaza. Penulis mencoba menuangkan
pengalaman hidupnya dengan kisah-kisah inspiratif di lembaran-lembaran kertas.
Ingin
lebih tahu mengenai penulis, silahkan hubungi melalui Whatsapp 081903156990, Facebook
Jovi Ardan, email
joviardan@gmail.com
Langganan:
Postingan (Atom)